Teh lemon hangat masih menjadi minuman andalanku untuk melepas penat. Serat jingga di kaki langit berhasil mengawali hari dengan penuh semangat. Namun, pemandangan sebagus ini sama sekali tidak dapat membangkitkan gairah semangatku seperti dulu. Aku mulai kehilangan makna tentang guratan jingga yang terlukis cantik saat matahari terbit pagi ini. Agaknya, aku sedang kehilangan jati diri.
Masalah yang datang semakin hari kian beruntun, tanpa memberiku jeda sedikit pun. Ditipu karyawan sendiri, usaha bangkrut, Kakek meninggal, lalu Ayah masih memusuhiku lantaran aku yang selalu dituduh menjadi anak pembangkang. Belum lagi sikap Edgar yang belakangan ini menjadi super cuek dan sibuk luar biasa. Dia menjadi semakin jarang membalas pesan dan semakin susah diajak bertemu. Sudah hampir sebulan, aku sama sekali tidak bertatap muka dengannya setelah acara pemakaman Kakek tempo hari. Padahal, letak rumah kami masih di kelurahan yang sama. Dia seperti tidak bisa menyempatkan waktunya untuk sekadar berbincang. Kalau benar-benar ada waktu luang barulah pria itu menelepon atau sekadar melakukan panggilan video. Itu pun tidak lama, hanya tiga sampai lima menit.
Layar ponselku menyala tanda pesan masuk. Aku segera menyahut ponsel dan berharap Edgar membalas sapaan pagiku. Helaan napas panjang tanda perasaan kecewa lantaran pemberitahuan yang terpampang di layar ponsel malah menunjukkan nama Yoda. Aku meletakkan ponsel kembali ke atas nakas. Aku sama sekali tidak berminat membaca atau membalas pesan itu. Sebentar kemudian, Yoda meneleponku.
“Ke mana aja, sih? Aku kirim tiket kapal, tuh. Kita jadi berangkat Kamis depan. Soal tiket pesawat biar aku yang atur.”
“Serius?” tanyaku.
“Makanya buruan cek WA,” tandas Yoda sebelum memutus sambungan telepon.
Mataku sontak membeliak dan hampir berseru girang saat melihat foto tiket kapal atas namaku. Akhirnya, aku bisa melarikan diri dari semua kepenatan ini.
Suasana matahari terbit pagi ini yang awalnya hambar, menjadi cukup hangat. Pandanganku beralih ke buku catatan laporan keuangan yang berserakan di atas meja belajar. Meja itu biasa kugunakan untuk membaca buku. Aku membuka satu persatu buku-buku itu dan membacanya dengan asal. Tepat di halaman terakhir buku ketiga, aku menemukan dua lembar uang seratus ribuan yang diklip bersama kertas dengan tulisan ‘masuk tabungan’. Ada perasaan bahagia yang menghampiri. Seperti baru menemukan harta karun.
Kalau dipikir ulang, keberangkatanku ke Kepulauan Riau terbilang keputusan yang cukup nekat dan memaksakan kehendak. Selain tidak mempunyai cukup uang saku, aku juga masih belum mendapatkan penghasilan pengganti. Lebih tepatnya, aku adalah seorang pengangguran.
Sofa panjang dekat jendela kamar menjadi tempat favoritku akhir-akhir ini. Kugapai kembali ponsel di atas nakas untuk mengecek saldo tabungan. Saldo tabungan utamaku memang sudah kosong, bahkan minus. Namun, aku masih ingat ada uang yang tersisa di tabungan kedua. Mungkin sekitar seratus ribu sekian rupiah.
Dahiku berkerut saat layar ponsel menunjukkan saldo tabungan yang jumlahnya melebihi ekspektasi. Dua juta seratus ribu sekian rupiah. Aku buru-buru mengecek riwayat mutasi untuk mengetahui dari mana uang ini berasal. Ternyata, Kakek yang mengirimkan uang ini sehari sebelum meninggal.
Terdapat catatan pemberitahuan yang bertuliskan “modal usaha” ditulis dengan huruf kapital. Tulisan itu cukup memberiku sebuah alasan. Uang ini memang tidak cukup untuk melunasi semua hutangku. Setidaknya, aku bisa memakainya untuk memulai lagi bisnisku. Masalahnya, aku masih belum mempunyai cukup tenaga dan semangat untuk memulai semuanya dari awal. Uang ini kupakai untuk uang sakuku ke Kepulauan Riau saja.
Untung saja, bulan ini, aku sudah membayar cicilan hutang ke Koko Atong dari hasil menjual kamera kesayanganku. Kamera itu masih baru. Aku membelinya sekitar tiga bulan lalu, hanya lantaran ingin memperbarui koleksi kamera saja. Namun, terpaksa kujual. Kamera itu bukan lagi barang penting untuk saat ini.