Kebisingan Pelabuhan Tanjung Priok bak dengungan lebah yang saling tak mau mengalah. Hiruk pikuk itu seolah berhasil menyumbang suhu panas Kota Jakarta. Para kurir tampak menyebar di berbagai titik keramaian. Aku, Yoda, Angga dan Tika duduk bersandar ransel masing-masing di pelataran swalayan pelabuhan. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Agaknya, kami harus mengantre dan bergegas masuk ke ruang tunggu. Siapa tahu udara bisa lebih sejuk di dalam.
Menumpang kapal bukan hal yang pertama bagiku. Namun, yang harus digaris bawahi, menumpang kapal selama beberapa hari hingga menginap di atas kapal adalah hal baru bagiku. Sebuah pengalaman yang patut dicoba.
Ruang tunggu pelabuhan ini cukup luas, tetapi pengap. Lantaran volume penumpang melebihi kapasitas ruangan. Jadi, sirkulasi udara yang bergantian masuk dari mulut pendingin ruangan tidak sebanding dengan melimpahnya orang. Yoda menyandarkan ranselnya di dinding dekat AC yang tidak seberapa dingin itu. Aku, Tika dan Angga menyusul di belakangnya. Kami bersandar lagi pada ransel masing-masing.
Ruangan semakin sesak dengan riuh penumpang dan tangisan bayi yang saling bersahutan. Ada hal unik yang baru aku dapati saat pintu ruang tunggu akhirnya terbuka. Semua penumpang kelas ekonomi tengah bersaing di ajang lomba lari dadakan hanya untuk berebut kasur. Dengan ransel besar yang bertengger di punggung, Yoda menarik tanganku untuk berlari lebih cepat. Agaknya, rutinitasku berlari di lapangan setiap dua hari sekali sama sekali tidak berlaku di sini.
Seideal atau seringan apa postur tubuhku, dengan tinggi badan yang hampir mencapai seratus tujuh puluh sentimeter dan berat badan yang bertahan di angka lima puluh kilogram, aku seharusnya mampu melangkah lebih lebar. Namun, aku benar-benar kewalahan dan kepayahan kalau harus berlari dengan ransel sebesar ini. Belum lagi harus berdesak-desakkan menaiki tangga penghubung yang cukup tinggi. Kegiatan ini terbilang sangat seru, walaupun menegangkan. Rasanya, berlari berebut kasur lebih mampu memacu adrenalin daripada flying fox empat ratus meter di Pantai Taman Pacitan kala itu. Aku tidak pernah merasakan sensasi yang seperti ini sebelumnya.
Kami menemukan tempat tidur paling ujung dekat dengan kamar mandi di dek empat. Aku meletakkan ransel besar dengan asal di lantai. Ransel besar ini sedari tadi menghambat keluwesanku berlari. Setelah lima belas menit mengatur napas, kami bergegas merapikan barang-barang. Sejurus kemudian, terdengar sebuah informasi dari pelantang, kalau kapal akan berlayar pukul delapan malam. Kami lantas memutuskan untuk bergolek di atas kasur masing-masing seraya bertukar cerita.
***
Pukul setengah tujuh malam, selepas keluar dari musala, Yoda mengajakku berkeliling kapal. Angga dan Tika lebih memilih berdiam diri di kasur mereka sembari menjaga barang-barang.
Aku dan Yoda bersandar di lorong sebelah kanan kapal. Aku kira suasana di luar akan lebih tenang. Ternyata dua kali lipat lebih bising dari yang aku bayangkan. Banyak penumpang yang duduk belunjur di lantai dan menggelar tikar dengan asal. Bahkan, ada sekelompok keluarga besar yang sedang berpiknik ria. Yoda mencari celah kosong hampir ke ujung.
Pandanganku berusaha menerobos kedalaman air laut yang gelap gulita. Pendar bulan tampak terlihat bersinar dengan sempurna. Namun, horizon yang kian menggelap ini sama sekali tak disambangi oleh sekumpulan gemintang.
“Ngomong-ngomong, ada yang harus kamu tahu. Randy–”
“Jangan bahas soal cowok dulu, deh.” Aku menyela Yoda dengan mengibaskan tangan.
“Sebenarnya, Mas Aryo sama sekali enggak menyetujui usulku buat merekrutmu jadi tim. Aku malah sempat kena damprat. Randy yang membujuk Mas Aryo buat mengizinkanmu pergi. Jadi, jangan kamu kira keberangkatanmu sekarang bisa semulus yang kamu bayangkan.”
Mataku membeliak. “Serius? Kok bisa?”
Yoda mengendikkan bahu. “Susah jelasinnya. Intinya, karena dia benar-benar mengenalimu. Jadi, dia itu kayak lebih tahu sikap yang tepat buat menghadapi cewek kayak Jingga. Aku sama Mas Aryo sampai melongo. Kami jadi merasa belum mengenalimu sejauh itu.”
“Kok bisa dia sampai tahu soal ini?”
“Dia kebetulan lagi di kantor sama ... Ardian, waktu aku kena damprat itu.”
Aku memijat pelipis seraya berdecak berulang kali.