Guratan Jingga

Claudia Lazuardy
Chapter #27

SEBUAH TEMPAT DI UJUNG UTARA

Sekitar pukul delapan malam, kami tiba di Pelabuhan Selat Lampa, Kabupaten Natuna. Para penumpang mulai berbondong-bondong beranjak dari kasur petak. Lorong-lorong sempit yang memisahkan ruangan satu dengan ruangan lainnya sudah penuh sesak dijejali penumpang kapal. Aku dan Yoda terjepit di tengah keramaian penumpang yang sedang berebut mencari jalan keluar dari lorong sempit ini. Tas ransel yang tadinya tidak terlalu berat, tiba-tiba menjadi sangat membebani kedua pundakku. Aku seakan memanggul beras puluhan kilogram.

Kegiatan saling dorong antar penumpang yang membuat beban tas semakin berat membuat emosiku sempat terpacu. Mataku berusaha mencari-cari keberadaan Angga dan Tika yang sama sekali belum terlihat sejak aku dan Yoda terhimpit di antara serbuan manusia ini. Yoda tampak sedang mengencangkan tali tasnya. Dia menoleh ke arahku dengan wajah paling sumringah, yang mungkin tak pernah kudapatkan pada wajah orang lain saat dalam posisi terhimpit seperti ini, termasuk wajahku. Dengan kondisi riuh seperti ini, aliran darah terasa mengalir ke kepala. Panas sekali dan penuh sesak. Namun, saat kupandang raut wajah Yoda yang semringah itu, penat di kepala berangsur lenyap. 

Yoda memang termasuk orang yang dapat menikmati segala medan kondisi. Dia akan tetap dalam sikapnya yang tenang, sekalipun situasi itu akan membahayakan nyawanya. Bahkan, dia masih tetap tenang saat ditodong pisau oleh perampok di salah satu halte bus setahun lalu. Entah bagaimana ceritanya, dia baru sampai rumah lewat tengah malam dan pulang dengan selamat lengkap dengan semua barang-barang yang dibawanya, termasuk nyawanya. Dia menceritakan peristiwa itu kepadaku dengan wajah kocak tanpa ada amarah atau rasa takut sedikit pun.

Selepas dua puluh menit berdesak-desakkan, kami akhirnya menginjakkan kaki di daratan. Aku merasakan terpaan udara malam yang segar. Lantaran badanku masih terasa terombang-ambing di atas laut, kupandangi lamat-lamat jalan beraspal yang sedang kupijak. Berusaha memusatkan konsentrasi untuk meyakinkan badanku yang telah berada di daratan. Seusai pikiranku menguasai kesadaran, barulah kubuka layar ponsel untuk mengecek sederetan notifikasi yang berebut masuk. Aku lalu mengirim pesan singkat ke Mama untuk memberinya sebuah kabar, kalau anak bungsunya sudah sampai di tempat tujuan dengan kondisi selamat dengan badan yang sehat.

Yoda tampak berjalan menghampiriku. Dia lalu meletakkan ransel besar di sebelah kananku sebelum bersandar. Suasana hening. Kami sama sekali tidak berusaha memulai pembicaraan. Mengingat kondisi badan yang lelah, juga sedang menikmati udara daratan yang empat hari ini sangat jarang kami jumpai. Sebentar kemudian, Angga dan Tika berjalan santai dari kejauhan menghampiri kami yang sedang bersandar di ransel masing-masing.

Pukul sebelas malam. Setelah menempuh jalur darat sekitar dua jam, kami tiba di rumah salah seorang teman Angga yang berada tidak jauh dari Kota Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna. Tepatnya di Desa Sepempang. Aku mengakui kalau Angga adalah orang paling ramah yang pernah kutemui setelah Yoda. Lantaran pengalamannya berkelana ke banyak daerah di Indonesia, dia jadi mempunyai banyak teman dan kenalan di segala penjuru tempat yang akan dia kunjungi. Bang Rizal dan Ayu adalah sebutan dari kakak beradik yang sudah rela menjemput kami dari pelabuhan menuju rumah mereka. Bahkan, mereka masih menyempatkan waktu menyiapkan makan malam untuk kami berempat. Penjamuan yang sungguh luar biasa.

Lihat selengkapnya