Setelah dirasa cukup banyak foto yang diambil, kami duduk berkelompok. Bang Rizal, Yoda, dan Angga berdiri di ujung sisi batu besar yang entah sedang membahas apa. Sedangkan, aku berdiri memandang Ayu yang sedang duduk bersila mengamati deburan ombak dari kejauhan. Gadis ini sungguh tak banyak bicara. Aku lantas menyenggol lengan Tika dengan siku seraya menunjuk Ayu.
“Hei,” sapaku sembari duduk bersila di sebelah Ayu. Dia hanya melempar senyuman singkat.
“Lagi mikirin apa?” tanya Tika.
Ayu hanya menggeleng samar, lalu melempar seulas senyuman lagi. Aku sudah kehabisan cara mau bertanya tentang hal apa lagi. Tiga hari tidur di ranjang yang sama, makan di meja yang sama, dan menonton televisi di ruangan yang sama. Masih saja tidak dapat membuatnya lebih akrab. Aku sendiri juga tidak cukup pandai memulai perbincangan. Apalagi lawan bicaranya tipe manusia seperti Ayu, yang lebih nyaman diam seribu bahasa dan sering menyendiri. Saat aku mengutarakan kecanggunganku kepada Yoda semalam. Dia malah bilang, kalau aku memang kurang luwes memulai perbincangan, tapi bisa lebih mudah memulai pertengkaran. Kenyataan yang cukup menampar.
“Apa cita-citamu setelah lulus nanti?” tanya Tika kepada Ayu.
Ah! Aku sama sekali tidak terpikir pertanyaan yang seperti itu.
“Guru.”
Singkat, padat dan jelas, ciri khas jawaban seorang Ayu.
“Kenapa mau jadi guru?” tanyaku memberanikan diri.
“Karena aku suka, Kak. Aku ingin menjadi guru di sini. Kawan-kawanku banyak yang merantau ke Jawa setelah mereka lulus kuliah, atau bekerja di Kota Padang. Banyak juga yang bekerja di Jakarta. Aku tidak ingin seperti mereka.”
Aku berusaha tidak menjawab atau menyela cerita Ayu. Namun, Tika tidak sepemikiran denganku.
“Di Jawa kan enak, banyak fasilitas,” sahut Tika.
Ayu menggeleng pelan. “Aku selalu merasa bahagia saat melihat wajah anak-anak di sini. Aku hanya ingin membantu mereka untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Mengajari mereka tentang banyak hal. Lagi pula, sudah banyak sekali guru yang tersedia di Jawa.”