Guratan Jingga

Claudia Lazuardy
Chapter #30

MELEMPAR INGATAN

Anak-anak berusia antara empat sampai tujuh tahun sudah duduk berjajar rapi dengan mendekap seperangkat alat tulis di teras depan rumah. Ayu bergegas mengeluarkan papan tulis dari kamar depan. Aku dan Tika membantunya mengeluarkan beberapa buku bacaan.

“Anak-anak ini selalu belajar di sini?” tanyaku.

Ayu mengangguk. “Tiga kali seminggu. Setiap aku pulang kampung.”

Aku mengamati Ayu yang sedang bercengkerama dengan anak-anak itu. Dia dengan sabar mengajari mereka tentang tata cara membaca atau berhitung yang benar. Tidak jarang juga dia mengingatkan mereka untuk selalu gemar membaca buku. Raut wajah Ayu sangat jauh berbeda saat bertemu dengan anak-anak ini. Sebuah guratan yang tak pernah kutemui sejak kali pertama bertemu dengannya. Sebuah guratan kebahagiaan.

Ayu memintaku untuk membantunya membuat soal berhitung sederhana dengan gambar di papan. Aku mulai menggambar beberapa benda dengan jumlah hitungan yang mudah. Mengingat mereka masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar dan ada juga yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

“Kakak,” panggil seorang gadis kecil di deretan paling ujung.

Aku buru-buru menoleh ke arahnya. “Iya, ada apa?”

Dia menyodorkan buku tulis dan pensilnya ke arahku. “Saye tak pandailah gambar roket.”

Aku mengernyitkan dahi. Dia lalu menunjuk salah satu gambar yang paling bawah. Aku sontak tergelak. Bahkan, hingga terpingkal-pingkal. Wajah gadis kecil ini polos sekali. Namun, dengan wajah sepolos itu imajinasinya sangat tinggi. Benar kata Ayu, melihat raut wajah mereka tercipta kebahagiaan tersendiri.

“Ini bukan gambar roket. Ini gambar pensil,” ucapku seraya mengusap kepala mungilnya.

Gadis kecil itu mengangguk seraya tersenyum sebelum bersimpuh dan mulai menggambar di sebelahku. Ulah anak-anak ini berhasil membuatku tertawa lepas tanpa beban. Apalagi saat Yoda dan Angga bergantian membacakan dongeng. Perubahan wajah mereka mengikuti alur dongeng yang disampaikan. Belum lagi saat Tika menunjukkan beberapa video dan memutar film anak-anak dari laptopnya. Wajah mereka sangat antusias. Gadis kecil tadi selalu duduk di sebelahku selama proses belajar berlangsung. Dia memang yang paling antusias. Karena semangatnya yang begitu energik itu, aku menjulukinya si Gadis Roket.

***

Tidak terasa sudah hari keempat kami berada di Natuna. Siang ini lepas zuhur, kami akan pergi ke Pulau Senoa. Bang Rizal yang baru saja pulang dari Kantor Desa buru-buru berganti baju. Dia sudah berjanji akan menemani kami pergi ke Pulau Senoa yang katanya penuh legenda itu. Mentari lagi-lagi menampakkan kegarangannya. Namun, aku tetap bersemangat menerobos sengatan itu. Walaupun, dengan serangan terik yang berhasil membuat kulitku bercorak belang tak karuan,

Bang Rizal sedang sibuk bernegosiasi dengan nelayan yang akan mengantar kami ke Pulau Senoa. Serbuan notifikasi dari berbagai penjuru tampaknya membanjiri masing-masing ponsel kami. Mengingat posisi kami sedang di bibir pantai. Aku menekuri banyaknya pesan teks dari Edgar yang cukup mendominasi notifikasi. Aku bertahan tidak membalas pesannya. Pesan dari Sarah sempat tenggelam. Jantungku berdegup sangat kencang saat membaca pesan itu. Aku belum bertemu, bahkan berbicara lagi dengan Sarah sejak pertengkaran waktu itu.

Pesan dari Sarah berhasil membuatku naik pitam. Dia memberitahuku perihal Lina yang berhasil mengambil alih hampir seluruh pelanggan Seera Clothing untuk berpindah ke toko daringnya. Sarah mengirimkan bukti sreenshoot sebuah akun instagram. Lina mencuri gambar, lebih tepatnya semua gambar model baju yang diunggah. Pintar dan licik. Bahkan, aku tidak dapat mengecek akun itu dari akun instagram pribadiku lantaran diblokir olehnya. Aku berusaha membuang jauh-jauh amarah ini. Tidak bisa. Bahkan, kabar ini berhasil membuat sekujur tubuhku terbakar melebihi sengatan mentari daerah pesisir.

Aku mengirimkan balasan pesan suara ke Sarah. “Kita bahas lagi nanti, setelah aku pulang. Makasih.”

Pandanganku lantas beralih menerobos ke pancaran air laut berwarna hijau tosca. Berharap pikiranku bisa terdistraksi dengan pemandangan ini. Yoda tiba-tiba menepuk punggungku cukup keras. Aku sontak meringis kesakitan.

Lihat selengkapnya