Batu Alif pada malam hari menyajikan pemandangan yang gelap gulita. Hanya pendar lampu dari homestay yang menjadi penerangan kami saat berdiri di antara batu-batu besar itu. Tidak tampak pemandangan air jernih seperti waktu pagi. Namun, saat aku mendongak ke arah langit yang luas membentang. Tampak panorama gemintang berlomba-lomba untuk menonjolkan dirinya. Saling berkelip-kelip menghiasi langit. Mataku berselancar di antara bintang-bintang itu. Mencari yang sinarnya paling terang.
Aku berbaring di batu besar bersama Tika dan Yoda. Bang Rizal sedang berbincang dengan Angga di batu yang lain. Sedangkan, Ayu. Ah! Aku tidak tahu keberadaan gadis itu. Dia mungkin juga sedang berbaring di antara bebatuan ini. Menyendiri seperti biasa.
“Terakhir kali tiduran kayak gini, dua hari sebelum Kakek meninggal. Kami tiduran di halaman belakang dan membahas banyak hal,” celetuk Yoda.
Sepertinya Yoda sedang tersenyum. Aku tidak bisa melihat raut wajahnya. Cahaya temaram yang terpancar dari lampu homestay tidak sampai mengenai wajah kami.
“Bahkan, aku yang bukan cucunya sedih banget, loh. Kayak benar-benar kehilangan kakek sendiri,” sahut Tika.
Aku hanya terdiam. Takut tidak kuat hati. Air mataku bisa-bisa luruh kalau ikut-ikutan membahas Kakek.
“Apa sih yang membuat kalian tetap kuat atau bisa bangkit dari keterpurukan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Alasan terdalam,” jawab Yoda dengan cepat. “Kayak yang sering disampaikan Kakek.”
“Strong why,” sahut Tika. “Soalnya, cuma strong why yang bisa buat kamu bangkit dari keterpurukan. Ada apa? Kamu lagi galau, ya, Jingga?”
Aku tergelak pelan. “Bukan galau, sih. Lagi patah semangat aja.”
“Semua orang pernah terpuruk, pernah patah semangat. Memilih tetap tepuruk atau merasa bersyukur karena masih diberi ujian adalah pilihan yang memang sulit. Padahal, kita tahu kalau ujian itu didatangkan biar kita naik tingkat.” Tika menghentikan kata-katanya. “Ah! Aku harap kamu memilih buat tetap bersyukur. Tuhan enggak memberi masalah di luar kemampuanmu.”
“Kita enggak pernah tahu apa yang harus diperbaiki sebelum membuat beberapa atau bahkan banyak kesalahan,” sahut Yoda.
“Kalian benar. Aku sekarang malah benar-benar samar, bahkan lagi buta sama tujuan utama yang dulu sempat aku puja-puja,” ucapku lirih.
“Memang gampang, sih. Kalau cuma bilang harus begini, harus begitu. Kalau jatuh, ya harus bangkit lagi. Padahal, kalau lagi di bawah gitu susah banget buat berdiri. Aku paham rasanya. Tapi, strong why itu tadi berhasil banget buat melanggengkan semangat. Jadi, alasan terdalammu harus sekuat pondasi gedung pencakar langit, Jingga.”
Perbincangan malam ini cukup membuatku berpikir ulang. Tika dan Yoda berhasil mentransfer semangatnya ke dalam benak dan kalbuku. Agaknya, aku ingin membekukan waktu yang berharga ini. Aku tidak ingin malam ini segera berganti pagi.
***