Si Gadis Roket menunduk lesu dengan menggenggam sebuah gulungan kertas. Dia berjalan pelan mendekatiku, lalu menyodorkan gulungan kertas yang digenggamnya. Aku membuka gulungan kertas itu. Terpampang gambar seorang wanita dewasa berdiri berimpitan dengan seorang gadis kecil yang tidak beraturan. Mereka berdiri di sebelah gambar roket yang berbentuk pensil. Ah! hal yang paling kubenci dari sebuah pertemuan adalah perpisahan. Aku mengusap kepala mungilnya. Dari sekian banyak anak-anak desa yang sering datang untuk belajar, hanya dia yang dekat denganku. Dia seorang gadis piatu. Ibunya meninggal saat melahirkannya lima tahun silam. Penampilannya memang seperti anak kecil yang tidak terurus. Bahkan, di umurnya yang sudah terbilang mampu untuk mengeja rangkaian huruf. Dia malah tidak bisa menghafal urutan alfabet. Sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan. Pantas saja, Ayu bersikeras kembali ke desa untuk mengabdikan dirinya.
Seberes berpamitan dengan Wak dan Mak - panggilan kedua orang tua Bang Rizal dan Ayu-, kami bergegas pergi ke pelabuhan.
Aku berdiri memandangi kapal KM Bukit Raya yang sudah siap menampung penumpang. Agaknya, kejadian berlarian dengan ransel akan terulang kembali. Namun, kali ini mental dan fisikku sudah lebih siap dari saat berangkat. Euforia berlari untuk berebut kasur malah lebih fenomenal daripada perlombaan half marathon yang pernah kuikuti sebelumnya. Aku sempat menoleh ke arah Ayu dan Bang Rizal secara bergantian, lalu melengak ke arah bentangan horizon yang mulai memekat. Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Aku akan merindukan mereka dan tempat ini. Aku nyaris menitikkan air mata.
“Sudah siap?” tanya Yoda tiba-tiba.
Aku mengangguk sembari mengencangkan tali ransel. Aku sudah lebih dari siap kalau harus berlari dalam temaram cahaya lampu pelabuhan.
“Maksudku bukan siap lari buat berebut kasur.”
Aku mengernyit. “Terus?”
“Sudah siap menghadapi semua masalah yang kamu tinggalkan gitu aja di Malang?”
Aku mendengus samar. “Ah! Soal itu ....”
“Kenapa? Masih ragu?”
“Siap, Kapten!”
***
Aku dan Yoda baru saja menghambur keluar dari pintu kedatangan Bandara Juanda. Entah harus bahagia atau sedih. Aku tidak merasakan adanya gejolak yang berkecamuk dalam hati. Mati rasa. Kejadian ini terulang kembali. Saat kebanyakan orang merasa begitu bahagia bisa pulang kampung dan bersua kembali dengan sanak keluarga, aku malah tidak merasakan apa-apa. Seolah tidak ingin pulang. Namun, kekuatan yang kuperoleh pagi itu berhasil mengalahkan keenggananku melangkah keluar bandara.
Mas Aryo melempar senyuman semringah seraya melambaikan tangan saat melihatku dan Yoda berjalan mendekatinya. Hatiku berdesir saat melihat wajah kakakku satu-satunya itu. Maksud hati ingin sekali membenamkan diri ke dalam pelukan Mas Aryo seperti waktu kecil dulu. Aku ingin sekali menangis di dekapannya, tapi kuurungkan niatku itu. Aku tidak cukup berani melakukannya, menangis sejadi-jadinya seperti dulu. Mas Aryo selalu memeluk dan mengelus kepalaku kalau aku sedang menangis, lantaran dimarahi Ayah.
Tanpa diduga, Mas Aryo memelukku singkat. Namun, aku tidak melepaskan pelukan itu dan malah menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa?” tanya Mas Aryo seraya mengelus kepalaku. “Ada apa?”
“Jangan ditanya. Aku cuma kangen aja sama Mas Aryo.”
Mas Aryo tidak menjawab, tangannya lantas menepuk pelan punggungku seperti dulu. Aku sungguh merindukan dekapan ini.
Bus-bus pariwisata tampak saling beriringan memenuhi tiga perempat jalan. Mobil melaju pelan saat melintasi titik-titik kemacetan Kota Batu. Apalagi saat tadi sempat menerobos jalur Desa Pendem. Mobil sama sekali tidak bergerak. Akhir minggu memang selalu padat seperti ini. Belum lagi kalau libur sekolah atau hari besar. Deretan mobil terpaksa merayap pelan dan berjibaku dengan kemacetan lalu lintas. Namun, ada saja satu atau dua mobil yang memaksa keluar dari markah jalan. Aku sengaja ikut mengantar Yoda pulang ke Batu. Aku masih enggan pulang ke rumah kalau harus mendengar makian Ayah.
Pukul satu siang, aku menggeliat kelaparan. Pendemo di dalam perut juga tidak bisa diredam dengan dua bungkus roti keju dan sebungkus roti pisang cokelat. Sedangkan, kami masih terjebak macet di antara kendaraan pendatang yang sedang berebut menghabiskan liburan akhir minggu mereka di Kota Batu.
“Mas, kita makan dulu, deh,” pintaku seraya meremas perut. “Aku sudah enggak kuat menahan lapar, nih.”