Aku duduk di ujung tempat tidur sembari merenggangkan badan. Selepas itu, aku buru-buru melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Pagi ini, aku berencana untuk memenuhi porsi latihan lariku di lapangan sebelah komplek, tentunya setelah menyeduh setengah porsi sereal.
Kota Malang pada penghujung bulan Juli menunjukkan suhu udara yang nyaris mengilukan sendi. Udara pagi ini membuat sebagian orang lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamar, dan membungkus rapat tubuh mereka dengan selimut atau kain tebal. Alih-alih menarik selimut, aku malah bermandikan keringat hasil jerih payah sepuluh kali berlari mengelilingi lapangan. Sepuluh kali itu terlalu banyak. Biasanya, aku berlari hanya lima sampai enam kali putaran. Empat putaran sisanya adalah luapan emosi.
Emosi yang tertahan hampir dua minggu ini berhasil lepas di antara derai keringat yang membasahi badan. Aku tidak pernah merasa sepuas ini. Berlari selain sudah menjadi rutinitasku sejak empat tahun yang lalu, juga ampuh untuk meluapkan segala macam emosi. Kegundahan, amarah, hingga kebahagiaan. Walaupun, aku pernah membaca artikel tentang fakta meluapkan amarah dengan berolahraga bisa berujung terkena serangan jantung. Namun, hal itu tidak pernah menyurutkanku. Entahlah, yang penting masih dalam batasan dan sesuai porsi saja. Lagi pula banyak penelitian lain yang melansir bahwa berlari dapat memperbaiki suasana hati dan meningkatkan produksi endorfin.
Sudah hampir satu jam menghabiskan waktu di lapangan sebesar ini, tapi tidak tampak satu manusia pun yang berlalu lalang. Lapangan ini berdekatan dengan sebuah SMA Negeri. Aku berhenti di sudut lapangan sembari melakukan pendinginan. Berselancar ke dalam memori pikiran untuk mengingat sebuah hari. Kemudian mengangguk sendiri saat mendapati siswa-siswi sekolah mulai berdatangan, dan berjalan menyusuri jalanan batako selebar bus mini yang menggaris panjang di sisi timur lapangan. Aku lantas tersenyum, lebih tepatnya meringis senang saat baru menyadari satu hal. Untuk kali pertama merasa sangat santai pada hari Senin di bulan-bulan yang menegangkan.
Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga lengkap tengah berjalan menghampiriku dengan membawa dua botol air mineral. Langkahnya semakin cepat dan semakin mendekat. Dia kini berdiri tepat di hadapanku. Kerutan di dahiku semakin berjajar saat dia menyodorkan satu botol air mineral kepadaku.
“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku sembari berkacak pinggang.
Sebenarnya, aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun pagi ini. Apalagi bertemu dengannya.
Dia melempar senyuman seraya meletakkan dua botol air mineral di atas bangku besi yang berada di sebelah kami. “Jangan terlalu dipaksakan. Kelihatan sekali kalau kamu lagi emosi.”
Agaknya, udara dingin telah gagal menghamparkan kesejukannya. Ibarat pantulan sinar matahari yang berusaha menembus cermin. Terpental dan membakar sesuatu yang dihantarkan sinar itu. Sepersekian detik berselang, aku mendadak tersadar. Amarahku menunjukkan sebuah sikap ketidakrelaan. Aku bergegas menghela napas cukup dalam dan meregangkan otot pipi dengan senyuman datar. Kegiatan ini cukup membuat suasana berangsur melunak.
“Aku enggak sengaja lihat kamu dari–”
“Bawa dua botol air juga enggak sengaja?” sahutku seraya bersedekap.
Dia tersenyum. “Aku sengaja beli setelah lihat kamu lari sendirian.”
“Aku sudah bawa botol air minum sendiri.”
Dia lagi-lagi tersenyum. “Apa kabar?”
Dengan cepat, aku merentangkan kedua tangan. “Apa kamu enggak lihat? Aku tetap baik dan selalu paripurna seperti biasanya.”
Dia tergelak. “Sudah enggak diragukan. Kamu memang selalu over semangat, Jingga.”
Aku menyahut botol minumku di atas bangku besi. “Aku rasa sudah cukup basa-basinya–”
“Aku cuma mau minta maaf dan menjelaskan beberapa hal ....”