Siang ini, aku sedang berada di sebuah kafe. Duduk di sudut meja paling belakang. Tampak dua pasang muda mudi sedang sibuk mengadu rasa di meja dekat jendela. Di sudut yang lain ada seorang pria berkulit terang dan berambut klimis yang sedang sibuk menekuri layar laptopnya. Sebentar kemudian, tampak dua gadis bak model majalah yang baru masuk melewati pintu utama.
Kafe ini memang cukup nyaman dan tenang jika digunakan sebagai area bekerja. Identik dengan warna monokrom dan ada beberapa bagian yang sengaja mengusung interior industrial modern. Seperti dinding yang dibiarkan tanpa polesan atau pipa-pipa kecil yang menonjol di dinding. Kenyamanan tempat ini juga disumbang oleh alunan musik pop yang santai. Walaupun terbilang cukup banyak pengunjung, tapi tetap tidak bising. Bahkan, aku sampai merasa sedang berada di ruang kerja pribadi.
Aku sedang mengamati beberapa video motivasi bisnis dari layar laptop. Mulai dari motivator kenamaan tanah air hingga video motivasi dari si manusia lima ratus tujuh puluh triliun alias Jack Ma, dan beberapa motivator bisnis dunia. Sebentar kemudian, tepukan pelan membuyarkan konsentrasiku. Aku lantas melengak ke arah seseorang yang sekarang tengah berdiri di sebelahku dengan raut wajah semringah. Kupijat pelipis berulang kali. Mengapa takdir selalu menggiringku bertemu makhluk berjakun satu ini hampir di setiap tempat yang aku datangi?
Randy duduk di depanku seraya meletakkan secangkir kopi yang sudah dia pesan. Dia sepertinya berpindah dari salah satu meja di baris depan. Aku hanya mengamati pergerakannya tanpa bersuara. Apa yang akan dibahasnya setelah ini? Dia malah tersenyum kepadaku. Aku berhasil tertegun dibuatnya.
Ah! Senyuman itu lagi.
Aku buru-buru menggelengkan kepala. Berusaha tidak terpanah dengan guratan senyum itu.
“Ngapain siang-siang di tempat begini?” tanya Randy.
Aku menyilangkan tanganku di atas meja. “Kelihatannya?”
Dia mengangguk sebelum menjulurkan badannya ke layar laptop yang berada di hadapanku.
“Lagi butuh motivasi?”
“Bukan urusanmu.”
“Atau lagi suntuk?”
Aku menggeleng. “Kalau enggak ada kerjaan mending pindah meja aja, deh. Aku lagi enggak mau ngomong sama siapa-siapa.”
“Kamu enggak biasanya berdiam diri di kafe kayak gini. Apalagi dengan wajah kayak begitu.” Randy mengerling ke arah sepiring classic molten lava cake yang baru berkurang sesuap. “Makanan ini penuh dengan cokelat, gula, dan pasti manis banget. Kamu pasti lagi suntuk.”
“Aku sudah pernah memperingatkanmu, jangan pernah mengurusi kehidupan orang lain.”
Randy menatapku lekat. “Kamu enggak mungkin menghabiskan uangmu cuma buat nongkrong di kafe. Kalau mood-mu lagi baik, kamu pasti sudah habis tiga piring lalapan porsi jumbo siang ini.”
Kedua alisku terangkat. “Kamu bisa sehafal itu sama kebiasaanku?”
Randy tergelak. “Aku jelas hafal semua kebiasaanmu, Jingga. Kita sudah berteman lama. Bahkan, aku masih ingat wajahmu yang masih cupu waktu ospek dulu.”
Kusilangkan tangan di depan dada. Bukan untuk bersedekap, tapi untuk benar-benar menutupi dada. Aku sedikit mencondongkan badanku ke samping. “Jangan-jangan semua pertemuan enggak sengaja kita itu karena kamu sengaja membuntutiku?”
Randy nyaris menyemburkan kopinya. “Yang benar aja! Itu ekspresimu kenapa jadi begitu? Aku bukan cowok mesum. Astaga!”