Desiran angin terdengar samar menerobos celah jendela kamar yang terbuka sebagian. Aku menatap layar ponsel yang menunjukkan belasan pesan permohonan maaf dari Edgar yang sengaja belum kubalas. Belum lagi deretan notifikasi panggilan tidak terjawab dari Randy. Aku melempar ponsel dengan asal ke atas kasur, lalu membuka laptop untuk menyimak beberapa video yang belum sempat aku tonton tadi siang.
Satu setengah jam berselang. Kalau seperti ini terus, aku tidak akan menghasilkan apa-apa. Aku harus segera mencari ide. Aku harus segera bangkit. Aku harus segera melunasi hutangku.
“Sudah menentukan pilihan?” tanya Sarah seraya melongokkan setengah badannya dari balik pintu kamar.
Aku sempat tersentak sebelum menggeleng pelan. “Ada yang lebih penting dari itu.”
Sarah merebahkan badannya di tempat tidurku. Aku mengelus tengkuk sembari beranjak dari kursi. Berjalan mendekati jendela untuk menerawang pemandangan ranting pohon yang sedang beradu dengan angin.
“Hatimu lebih cenderung ke siapa?” tanya Sarah.
Aku mengedikkan bahu. “Hatiku lebih cenderung membangun bisnis dari awal. Membuat bisnis model lagi, mencari pelanggan lagi, menggambar model baru lagi ....” Aku menghela napas panjang. “Ada satu kalimat dari Jack Ma yang cukup membangkitkan semangatku. Don’t worry about the money. Money follows people. People should follow their dreams. Kerja yang benar, duit bakal datang. Kalau fokusnya ke duit, pasti duitnya hilang. Karena kita enggak bakal pernah merasa cukup.”
“Kayak kata motivator yang sering kamu tonton itu. Kesalahan itu sebuah bentuk pembelajaran biar enggak terulang di kemudian hari. Habiskan jatah gagalmu. Eh, kalimatnya benar begitu, enggak, sih?”
Aku terkekeh. “Sebenarnya, aku sudah buat beberapa sketsa baju.”
Aku berbalik badan dan menarik map plastik putih di deretan rak buku, lalu menyodorkan map yang bersisi beberapa lembar kertas kepada Sarah.
Sarah mengamati semua gambar itu sembari bergumam. “Goresan ....” dahinya berkerut. “Goresan tangan. Guratan ....”
“Ngapain, sih?”
“Ah!” Seruan Sarah cukup membuatku terperanjat. “Guratan Jingga. Nama itu bisa jadi merek dagang. Di setiap gambarmu nanti beri tanda dengan tulisan ‘guratan jingga’. Termasuk di label baju yang sudah jadi nanti. Bagaimana?”
Aku menyilangkan tangan. Sesekali menggaruk dagu, lalu menjentikkan jari. “Boleh, juga. Cerdas sekali.”
“Nama Guratan Jingga itu punya sarat makna. Selain sebuah goresan tangan seorang Jingga yang berbentuk sketsa, juga bermakna kekuatan. Kayak yang sering kamu deklarasikan itu,” ujar Sarah sembari menggapai stoples tanggung berisi keripik kentang di atas nakas.