“Padahal itu cuma suara biola dan nggak ada liriknya, tapi rasanya tuh Mama kayak lagi nyanyi.”
—Nada Yuina
Satu bulan kemudian. Pukul sebelas siang, Jaasir Sebayu mengendarai Honda Civic merah menuju SD Negeri 2 Jakarta Timur. Ia adalah pria 35 tahun yang rajin memangkas cambang dan memiliki potongan rambut pendek rapi meski sudah diselingi uban. Hidung Jaasir mancung, berkulit sawo matang dan kedua matanya cekung cokelat.
Cuaca siang ini sangat terik, sesekali ia memperhatikan aktivitas orang-orang di pinggiran jalan. Jaasir kagum pada pedagang bakso yang mendorong gerobak, tukang tambal ban yang berteduh di bawah beringin, dan beberapa pencari nafkah lain yang ditampar oleh polusi dan panasnya Jakarta Timur.
Gedung-gedung tinggi bertransisi, awan tipis tampak membahu hingga ke cakrawala yang terang. Klakson dan geberan mesin mengisi nuansa siang ini, dibumbui oleh umpatan pengendara motor yang kesal karena nyaris terserempet Toyota tua. Namun, ada satu pemandangan yang memudarkan senyum di wajah Jaasir, yaitu gerombolan remaja yang duduk di kedai kopi.
Setidaknya, Jaasir bisa melihat ada delapan orang di sana, mereka memiliki tato lingkaran hitam di punggung tangan—ciri khas anggota Black Hole. Jaasir tidak senang karena semenjak Black Hole ada di Jakarta Timur, banyak remaja yang berbondong-bondong menjadi bagian dari organisasi mafia itu. Tidak sedikit tindak kejahatan yang dilakukan oleh remaja-remaja Black Hole, beberapa di antaranya seperti pencurian, begal, hingga jual beli narkoba.
Setelah menempuh panjangnya jalanan kota, dua puluh menit kemudian akhirnya Jaasir sampai di depan pagar SD Negeri 2 Jakarta Timur. Pria itu memarkirkan mobilnya di depan pagar dan keluar menuju pintu gerbang. Jaasir melihat seorang gadis kecil sedang bermain biola di selasar sekolah, ia pun berhenti di gerbang dan memperhatikan gadis kecil itu. Namanya adalah Nada Yuina—anak semata wayang Jaasir, berusia sembilan tahun dan gemar bermain biola. Saat ini Nada sedang memainkan instrumen Indonesia Raya, Jaasir pun tersenyum menikmatinya.
Jaasir sengaja tidak menghampiri Nada, ia membiarkan gadis kecil itu menyelesaikan instrumennya. Pergerakan jemari dan ayunan busur biola si gadis kecil tampak luwes, Jaasir tahu persis perkembangannya—Nada giat berlatih siang dan malam demi menjadi seorang pemain biola profesional. Satu menit kemudian Nada berhenti, dengan sendirinya gadis kecil itu menyadari kedatangan Jaasir. Nada melambaikan tangan ke ayahnya, kemudian memakai ransel dan membawa biolanya. Gadis kecil itu berlari menghampiri Jaasir.
“Ayok, Yah,” ajak Nada sesampainya di depan Jaasir, kemudian ia melangkah menuju mobil.
Jaasir melihat daun kering yang tersangkut di rambut panjang Nada, kemudian menyingkirkannya dan mencium bau kecut dari si tubuh gadis kecil. Pria itu pun ingat bahwa tadi pagi Nada ada pelajaran Olahraga. Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan mulai meninggalkan sekolahan.
“Sebelum makan siang, kita mampir ke Mama dulu, ya,” ujar Jaasir.
“Yeay!” seru Nada, gadis kecil itu menaruh biola di pangkuannya. “Aku udah kangen banget sama Mama!”
“Mama juga pasti kangen sama kamu, dia bakalan cerewet kalau tahu anaknya udah bisa main lagu Indonesia Raya.”
***