“Salah semua.”
—Jaasir Sebayu
Pukul tujuh malam, Igo Gunadi mengetukkan pena berkali-kali di meja kerjanya, menghasilkan bunyi yang tidak teratur dan menutupi suara berita di TV. Igo adalah pria 41 tahun yang menjabat sebagai Pemimpin Black Hole Jakarta Timur. Pria yang berkepala gundul dan memiliki codet di mata kanannya itu sedang kesal lantaran belum mendapat kabar dari kondisi Kirana hingga sekarang.
Satu bulan yang lalu, atasannya dari Jakarta Pusat memberitahu bahwa ia telah mengutus Kirana untuk membunuh Daniel Wicaksono—Walikota Jakarta Timur. Igo juga sudah melihat nama Daniel Wicaksono tertulis di postingan Kirana pada aplikasi X-Fire—media sosial yang hanya bisa diakses menggunakan Linux dan terenkripsi. Igo tahu bahwa nama siapa pun yang sudah ditulis oleh Kirana di postingannya, maka dua atau tiga hari berikutnya akan dikabarkan meninggal. Igo sangat paham reputasi Kirana sejauh ini, wanita itu dikabarkan sudah membunuh lebih dari tiga puluh orang yang menjadi sasaran Black Hole. Terutama adalah mereka yang menentang keberadaan Black Hole di wilayah Jakarta.
Namun, hingga sekarang Daniel masih muncul di TV dan menyuarakan penolakannya pada Black Hole. Igo memandangi si Daniel yang tampak sehat-sehat saja di TV, berdiri bersama istrinya dan dikelilingi oleh mahasiswa dari Universitas Sadila, Jakarta Timur.
“Masa Kirana gagal, sih?” gumam Igo. “Mana pusat belum ngasih kabar detailnya.” Ia meneguk bir dari gelas kecil, kemudian berdiri dan melangkah mendekat ke jendela. Igo menyibak tirai dan memandangai pekarangan kantornya, pria itu memperhatikan dua truk kargo yang baru saja masuk pintu gerbang.
Ketukan pintu pun terdengar. “Bos, paket dari pusat udah datang.”
“Ya, Mail,” sahut Igo. “Lo urus kayak biasa, rekapannya besok nggak apa-apa.”
“Oke.”
Igo menutup tirai itu dan kembali duduk di kursinya. Ia membuka laptop, masuk ke dalam aplikasi X-Fire dan menghubungi rekan bisnisnya satu per satu. Kedua truk di luar sana adalah paket berisi obat-obatan ilegal yang hendak diedarkan oleh Igo ke banyak tempat di wilayah Jakarta Timur. “Mau mati mau kagak, bisnis tetap jalan.” Ia meneguk birnya lagi.
***
Warna cokelat keemasan pada nasi goreng di atas piring membuat Jaasir semringah, begitu juga dengan Nada yang tampak lahap menyantapnya. Mereka berdua menikmati waktu makan malam di balkon rumah, di bawah bulan purnama yang mengintip dari balik gedung tinggi.
“Ada film animasi bagus yang lagi tayang di bioskop, Yah. Judulnya Baby Pinocchio,” tutur Nada di sela-sela makan, kemudian ia meneguk air minum dari mug bergambar Unicorn. “Aku udah lihat trailernya, bagus banget!”
“Besok jadwalnya jam berapa?” tanya Jaasir seraya mengunyah kerupuk.
“Bentar, aku lihat lagi.” Nada membuka tablet yang ukurannya sebesar piring. “Jam sepuluh ada, jam satu ada, jam lima sore juga ada, Yah.”