“Kok muka lo pucat kayak lihat hantu, Pak?”
—Lita Luisiana
Secuil keberuntungan masih menyelimuti Jaasir dalam kondisi kritisnya, ia bisa melepas sabuk pengamanm dan membuka pintu yang penyok. Kegigihan untuk bertahan dalam kesadaran membuat pria itu berhasil merangkak di dalam mobil yang terbalik, kemudian melepaskan sabuk pengaman Nada dan berusaha mengeluarkan gadis kecil itu dengan hati-hati. Tidak ada luka fisik di bagian kepala, tetapi Jaasir yakin bahwa Nada pingsan karena mendapat benturan saat tabrakan terjadi. Serpihan kaca yang menancap di lengan Nada terjatuh dengan sendirinya, Jaasir juga bersyukur bahwa kaki Nada tidak terjepit hingga bisa membawanya keluar dari mobil.
Aroma bensin menguar, Jaasir menggendong Nada dan membawanya menjauh dari mobil. Jalan di perumahan ini sangat sepi, tetapi ada beberapa warga yang tampak mengintip dari balik pagar dan beberapa di antaranya keluar menghampiri. Jaasir berhenti di bawah pohon mangga, ia duduk meluruskan kakinya sambil memangku kepala Nada. Dada Jaasir terasa sesak dan kepalanya terus berdengung, rasanya seluruh tubuh seperti ditindih oleh tangan-tangan besar yang tak kasat mata.
Pria itu merogoh kantong dan mengeluarkan ponselnya, kemudian menghubungi kontak bernama dr. Falih Oktavianus melalui WhatsApp. Tidak butuh waktu lama hingga panggilan itu terjawab.
“Halo, Dok. Tolong jemput saya di Jalan Merpati, Perumahan Sunardi. Tolong selamatkan nyawa Nada.”
“B-baik, saya jalan sekarang.” Telepon pun terputus.
Seorang pria tua yang keseluruhan rambutnya sudah memutih datang menghampiri, Jaasir menduga bahwa pira itu adalah warga sekitar. Kemudian disusul oleh seorang wanita yang berlari membawakan segelas air minum. Namun, pandangan Jaasir semakin kabur, rasanya ia tak mampu lagi menahan kesadaran. Tak lama kemudian semuanya pun jadi lebih terang.
***
Aroma minyak kayu putih menguar, membuat Jaasir membuka kedua mata dan melihat kotak-kotak ternit abu-abu di atasnya. Nyeri kepala yang tadi dirasakan sudah menghilang, kini ia mulai memperhatikan sekeliling. Ada Falih Oktavianus yang sedang duduk menatapnya, dan ada Nada Yuina di ranjang sebelah yang berbaring memejamkan mata serta mendapatkan infus. Ini bukanlah kamar rumah sakit, melainkan apartemen pribadi Jaasir yang memiliki perlengkapan layaknya kamar terbaik di rumah sakit.
Tangan kanan Falih memegang minyak kayu putih, ia adalah dokter yang dihubungi Jaasir sebelum pingsan. Pria itu berusia empat puluh tahun, bekerja sebagai dokter pribadi yang setia menerima panggilannya. Falih merupakan pria keturuan Papua, memiliki kulit gelap dan rambut cepak yang ikal. Kedua matanya cekung, hidungnya besar, dan senyumnya membuat Jaasir percaya bahwa pria itu bisa menangani berbagai macam kondisi darurat medis.
Jaasir terpaku memperhatikan Nada di ranjang sebelah. Tangan kiri gadis itu tampak diselimuti gips, begitu juga dengan kaki kirinya. Jaasir meremas sprai lalu menangis. “Gimana kondisinya, Dok?” tanya Jaasir, ia turun dari ranjang dan menghampiri Nada dengan langkah yang tersuruk pincang.
“Tidak ada pendarahan di otak,” jawab Falih, pria itu beranjak dari kursi dan turut menghampiri Nada. “Ada beberapa tulang yang patah, tulang kering di kaki kiri, dan pergelangan tangan kiri. Terjadi kerusakan yang cukup parah pada saraf tangan kirinya. Bisa sembuh, tapi kemungkinan tidak bisa digerakkan normal seperti dulu lagi.”