Guratan Nada

Ariya Gesang
Chapter #5

Tamu tak Diundang Bagian Satu

Dia bunuh semua anggota KKB di hutan itu, sendirian.”

—Camila Joe


Edwin Gumelar tidak pulang ke rumah meski Natalia Herlin—istrinya, sudah menelpon untuk segera pulang. Pria itu duduk di kursi panjang di dalam Gereja Santo Yosef, bukan kursi paling depan, tetapi di tengah-tengah. Jemari-jemari tangannya saling merangkul, membentuk kepalan yang khusyuk di depan dada. Wajah Edwin memberengut dan kedua matanya berkaca-kaca seperti prisma.

“Bapa, lindungilah aku dan keluargaku darinya,” gumam Edwin.

***


Satu bulan yang lalu. Edwin mengemudikan sedan Mercedes Benz di jalanan malam Kota Jakarta Timur. Ada Camila Joe duduk di sebelahnya, memakai sweter abu-abu yang kerahnya dihiasi bulu-bulu lembut. Camila adalah wanita paruh baya berbadan kurus dan gemar merokok. Ia memiliki retina mata cokelat dan kerutan-kerutan tipis yang sudah memenuhi kulit wajahnya. Rambut Camila bergelombang, terikat ke belakang tanpa poni. Wanita itu mengisap Sampoerna Mild dan mengembuskan asapnya ke luar jendela. Edwin sudah mengenal Camila sejak mereka duduk di bangku kuliah. Dulu mereka sempat pacaran, tetapi jalinan asmara itu terjadi terlalu awal hingga kelabilan membuat keduanya berpisah.

Malam ini Camila meminta Edwin mengantarkannya ke sebuah rumah di perumahan Anggur Hijau, Jakarta Timur. Namun, Edwin belum tahu rumah siapa yang hendak dituju. Camila tidak banyak bicara, wanita itu hanya berkata rumah seorang pria. Ada satu hal yang dipahami oleh Edwin dari Camila. Ia adalah wanita yang cerewet, jika tidak banyak bicara, maka itu bisa berarti bahwa Camila sedang fokus memusatkan pikirannya pada suatu tugas.

Ada selembar amplop cokelat di pangkuan Camila, Edwin menduga bahwa isinya adalah sebuah surat. Edwin tahu Camila bekerja sebagai pengirim pesan di Paruh Garuda—agen rahasia Indonesia. Sebuah organisasi yang tidak banyak diketahui meski di kalangan pemerintahan. Sudah pasti isi surat itu sangat penting, tetapi Edwin belum ingin menanyakannya. Ia menunggu agar Camila menceritakannya. Pria itu membelokkan mobilnya di perempatan, lalu menunjuk Hotel Soelastri di sebelah kiri.

“Uhuk!” Camila tersedak asap rokoknya sendiri hingga batuk. “Hahaha.” Ia tertawa.

Edwin tersenyum lantaran hotel itu mengingatkan pada momen kasmarannya bersama Camila di kamar 19.

“Hotel itu udah dibeli Black Hole,” tutur Camila.

Edwin mengangguk. “Ya,” ucapnya. “Totalnya udah dua belas hotel yang dibeli Balck Hole di Jakarta Timur.”

“Tiga belas,” kata Camila, ia melemparkan putung rokok ke tong sampah di trotoar Hotel Soelastri. Edwin memperhatikan Putung rokok yang berputar seperti ruji sepeda dan masuk tepat ke lubang tempat sampah.

Ketika mereka sudah melewati hotel itu, Edwin pun bertanya. “Lo ada tugas apa?”

Camila melihat amplop cokelat di pangkuannya sendiri, lalu ia pun menjawabnya. “Bodyguard.”

“Jadi, pria yang mau kita datangi ini, dia bodyguard?”

Camila menggelengkan kepala lalu menatap Edwin. “Bukan.” Camila berpaling dan kembali menatap ke luar jendela. “Gue jelasin kalau udah pulang dari sana.”

***


Lihat selengkapnya