Edwin sampai di rumahnya pukul sepuluh lebih lima belas menit, memarkirkan mobilnya di garasi lalu mengunci gerbang. Sesekali ia memperhatikan jalanan di luar rumahnya, masih ada tetangga yang berkumpul dan bermain karambol. Pemandangan itu membuat Edwin iri, andai saja ia bisa hidup sederhana seperti mereka, tanpa terlibat dengan mafia dan segala macam permasalahannya. Namun, uang membuatnya harus menerima pekerjaan yang berisiko dan meninggalkan banyak kegiatan sederhana bersama dengan tetangga-tetangganya.
“Kenapa lama banget, Pah?” tanya Natalia dari arah pintu.
Edwin menoleh, ia melihat istrinya yang sudah mengenakan piyama dan sedang menguncir rambut. Pria itu pun menghampiri. Tanpa ragu, ia memeluk Natalia dan mengecup kening lebarnya. Wajah Natalia tampak kebingungan, bibir tipisnya bergetar dan Edwin tahu bahwa istrinya itu sedang menduga sesuatu yang buruk sedang terjadi. Edwin sadar bahwa pelukan sepulang kerja tidaklah biasa dilakukannya. Namun, pria itu tetap menjaga senyumnya, ia ingin menutupi masalah dan tidak ingin memberikan perasaan cemas pada Natalia.
“Ada panggilan mendadak, kasus keluarga,” jawab Edwin berbohong.
“Di mana?”
“Buaran.” Edwin melangkah masuk, Natalia pun mengikuti dan menutup pintu.
“Kenapa wajahmu sembap, Pah?”
Edwin duduk di sofa dan menaruh tas slempang di sebelah—berisi upeti dari Black Hole. Kemudian Edwin mengingat kasus lama yang sempat membuatnya bersedih, Edwin menggunakan kasus itu untuk membohongi istrinya saat ini. “Anak durhaka, dia mau bunuh ibunya gara-gara warisan. Ibunya lagi sakit, untung ada kakaknya yang mencegah. Parahnya, si anak durhaka ini bawa teman-teman buat bunuh ibunya sendiri.”
“Terus? Udah dibawa ke kantor?” tanya Natalia seraya duduk di sebelah Edwin.
“Udah.”