SAHABAT, kumulai lembar-lembar memoar ini dengan sebuah kegundahan yang seolah tak tertahankan. Akhir 2003 waktu itu. Kutumpahkan kegundahan di dadaku kepada Fuad Hadi, seorang sahabatku. Pastilah alam semesta sudah mengatur sedemikian rupa sehingga aku bertemu dengannya di tengah kemeriahan sebuah acara hari besar Islam di Islamic Cultural Centre, Jakarta. Kepadanya kuceritakan apa yang kulakukan di Ciseeng, sebuah kampung di wilayah Bogor: bermimpi mendirikan sebuah sekolah bagi anak-anak kampung itu. Kuungkapkan kekesalanku, kalau boleh kukatakan demikian, dengan harapan agar ia bisa memberiku jalan keluar atas masalah yang akhir-akhir ini menderaku. Sesak dadaku oleh pembuluh darah yang serasa kian menyempit.
“Tak ada yang peduli atau setidaknya memberikan empati terhadap apa yang kuperjuangkan di sana,” kataku. “Aku merasa sendirian.”
“Sendirian?” ucap Fuad keras. “Kok bisa kau sampai berpikir begitu?”
Fuad adalah salah seorang instruktur yang menggemblengku saat masa orientasi mahasiswa di STIMI Depok. Aku mengambil Fakultas Pendidikan dan angkatanku, 1997, adalah angkatan pertama sehingga kami tak punya kakak tingkat. Kami, aku dan Fuad, kerap bertemu di tahun-tahun pertama, tapi setelah itu nyaris tak pernah lagi.
“Lantas?” Fuad ingin meminta keputusanku. Tampaknya, dia hendak mengingatkan bahwa apa pun situasinya, aku harus tetap membuat keputusan. Aku tak boleh hanya berdiri di tempat.
“Jangan-jangan memang benar aku telah salah melangkah?” gumamku.
“Kenapa?”
“Kau tahu, Fu,” kataku. “Kenapa rasanya tak ada yang mau peduli?” lanjutku, yang malah membuatku makin ragu.
Fuad diam. Ia hanya mengangguk-angguk kecil “Bukan tak ada,” kata Fuad dengan nada rendah mencoba menenangkan kugusaranku, “tapi mungkin saja, hanya lilin kecil yang kau nyalakan. Maksudku, apa yang kau lakukan belum cukup untuk bisa dipahami orang. Dus, itu bukan berarti mereka tak tertarik. Belum tertarik, mungkin itu lebih tepat.” Kata-kata Fuad terdengar mantap, seolah ingin membesarkan hatiku. Sayangnya, suaranya yang penuh itu justru membuat telingaku spontan berdengung. Enak saja dia bilang seperti itu. Dasar kebanyakan manusia memang sok tahu! Tak tahukah dia bahwa hampir dua tahun ini aku sudah sekuat tenaga membanting tulang, menggapai-gapai, memanggil-manggil, berteriak ke sana kemari.
“Yah, atau memang belum saatnya,” katanya ringan dan begitu abai. Namun dari tatapan matanya, aku tahu bahwa Fuad sedang mengukur-ukur seberapa dalam kegundahanku.
“Kau tahu, kan, bagaimana bulir-bulir padi itu tidak bisa langsung dimakan?” lanjutnya. “Harus dijemur, digiling, ditanak, baru bisa tersedia di meja makan. Seperti itulah kira-kira. Bisa jadi, kesabaranmu menanti memang sedang teruji.”
Aku membuang muka tak setuju. Bukan karena apa yang dia omongkan salah, melainkan entahlah, aku melihatnya sebagai orang yang mendadak begitu cerewet. Menemaniku dalam diam saja, itu sudah cukup. Hanya itu yang kubutuhkan.
Akhirnya, kebisuan jatuh di antara kami, di tengah semaraknya acara yang meriah itu.
***