SAHABAT, kecintaanku terhadap Ciseeng, sebuah desa kecil di wilayah Bogor, bisa dirunut ke belakang ketika kami, para mahasiswa tingkat akhir, melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di sana. Terjun di tengah-tengah masyarakat. Itulah tugas setiap mahasiswa sebelum berpisah dengan kampus tercinta. Sebuah bentuk dari upaya pengabdian para mahasiswa tingkat akhir, untuk coba mulai mengaplikasikan teori-teori yang didapat di bangku kuliah. Atau, Tri Darma Perguruan Tinggi. Namun, tak seperti di kampus yang lain, program KKN di kampusku sempat tersendat. Kami menunggu nyaris tanpa kepastian. Setelah melewati perdebatan yang cukup alot, keputusan untuk segera melaksanakan program ini akhirnya ditetapkan. Cukup sebulan: dimulai awal April dan berakhir awal Mei, tahun 2002.
Boleh jadi, keputusan ini pun terkait dengan desakan teman-teman yang sudah mulai jengah. Sulit untuk bisa dibayangkan bahwa hampir lima tahun kami tak kunjung lulus. Teman-teman mulai menyusun rencana hidupnya setelah KKN, tak sabar untuk segera lulus dan memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Bagaimana dengan aku? Hampir setiap aku mudik, seolah menjadi kewajiban saudara dan para tetanggaku untuk tak lupa mencandaiku kapan mencari uang bila sekolah tak kunjung selesai. Mahasiswa sepertiku nyaris tak ambil pusing dengan keadaan-keadaan semacam itu. Untuk menghibur diri, kukatakan kepada diriku, “Ijazah bukan lagi satu-satunya penentu kebahagiaan, bukan?” Barangkali, itulah sebabnya nilai-nilai ujianku tak terlalu baik. Dan di akhir-akhir kuliahku, tak jarang, ah kadang-kadang, bila kutemui mata kuliah yang tak menarik, ditambah dosen yang menjemukan karena gaya mengajar era baheula, aku masuk hanya untuk menorehkan absensi. Kububuhkan tanda tangan, dan sebentar kemudian, aku minta izin ke belakang untuk tak kembali lagi.
***
Hari itu 5 April. Awan putih berarak, mengantarkan kami, berdua puluh empat, naik bus tiga perempat menuju sebuah desa di Bogor. Gambaran yang pasti ten-tang daerah yang akan kami tuju masih teramat samar; aku enggan mengatakan bahwa kami tak mempunyai sepotong pun informasi menyangkut kondisi sosiologis, adat istiadat, komposisi penduduk, dan sebagainya. Ibarat sepasukan angkatan perang yang akan terjun ke medan laga, kami benar-benar buta tentang situasi medan.
Di benakku sendiri, kata desa sudah cukup memberiku sebuah alasan untuk mulai membayangkan keteduhan, kedamaian, tali persaudaraan yang kuat, alam nan indah, udara yang segar, keluguan, dan siapa tahu ada setangkai bunga yang bisa dipetik. Dasar bodoh! Lamunan yang sungguh akan membuatku terlena. Dan memang, suasana seperti itulah yang kucari selama ini. Bahkan sejak kami dilepas oleh Pak Rektor, seolah jiwaku langsung melesat meninggalkan tubuhku, melayang dan mengembara di atas bumi pedesaan.
***
Keluar dari Depok, kami masuk di Jalan Raya Parung-Bogor. Sesaat kemudian, mulai muncul School of Universe di sebelah kiri jalan, yang begitu asri dan teduh. Dari luar, hampir tak tampak adanya sebuah bangunan. Bus terus melaju. Sebelah kanan jalan, Dwi Warna, Boarding School. Jalan utama dari pintu masuk yang luas dan bangunan megah yang bisa terintip dari pinggir jalan. Konon sekolah itu didirikan oleh mantan menteri pertambangan dan energi. Dan berikutnya, Daarul Muttaqien, yang menyediakan TK hingga perguruan tinggi di sebelah kanan jalan. Dan, siapa yang tak kenal sekolah Madania—dengan Cak Nur sebagai ikon—yang sekarang pindah di Telaga Kahuripan. Dan di gedung eks-Madania itulah, Smart Excellensia berada; sekolah unggulan milik raksasa salah satu lembaga swadaya masyarakat di Tanah Air ini. Gedung dengan ukuran jendela yang besar—mirip bangunan kolonial—terasa elegan, cermin atas orang-orang cerdas dari segenap pelosok negeri berkumpul. Itulah sekolah terakhir yang kutemui sebelum mencapai pertigaan Jampang.
Hampir di sepanjang jalan, berbaris warung-warung kecil yang sebagian besar masih tutup. Kabarnya, warung-warung itu baru buka menjelang asar, dan makin ramai seiring dengan malam yang kian larut. Di sana akan kau dapati remaja-remaja yang ... dan kabarnya juga, di sinilah tempat pelarian pekerja-pekerja seks komersial dari Kramat Tunggak.
Dari pertigaan Jampang itu, bus kami mengambil arah ke kanan. Di atas jalan tembus ke Bumi Serpong Damai itu, tujuan kami adalah Ciseeng. Tak kalah dengan jalan raya, jalan yang kami lalui ini pun mulus: hotmiks.
“Ah, ke sini sih bukan tempat yang cocok buat KKN,” pikirku. “Rasanya tak mungkin. Dekat Depok, Jakarta, banyak sekolah bagus, jalan pun mulus. Apa yang menarik? Sasaran dari program ini apa tak salah?
Semestinya ke luar Jawa; tak hanya akan mengasyikkan, tapi juga akan jauh lebih menantang. Pasti.”
Padang ilalang, kebun-kebun ketela, dan rumahrumah penduduk yang masih jarang, amboi, nuansa pedesaan benar-benar kian terasa. Kira-kira sepuluh menit kemudian, terlihat pintu gerbang di sisi sebelah kiri jalan. Dan bus kami pun memasuki sebuah desa. Meski semilir angin Bogor bisa membuat rasa kantuk kian memberat, mata kami malah terbelalak. Bukan karena kafein dari kopi lampung semalam, melainkan badan jalan yang berlubang menganga membuat bus mulai berguncang dan mengaduk-aduk isinya.
Aku dan teman-teman yang berdiri di pintu harus berpegangan kuat-kuat kalau tak ingin terlempar. Tak sedikit teman yang menggerutu, “Masa dekat Jakarta masih ditemui jalan tak berwajah seperti ini ....”
Petak-petak kebun mulai menyambutku hanya beberapa meter dari mulut gerbang itu. Lihatlah, anakanak bertelanjang dada sedang bermain di derasnya air di kolam sana, bahkan juga ada yang bertelanjang bulat. Ujung ranting-ranting pohon rambutan mulai dipenuhi bunga. Sepanjang hidupku, baru kali ini kulihat pohon manggis dan tangkal mlinjo. Gunung Nyungcung membiru, menyatu dengan cakrawala di sebelah barat. Kenapa sepanjang perjalanan hanya kutemukan beberapa petak padi? Ternyata, perikanan menjadi sumber mata pencaharian penduduk pada beberapa tahun terakhir. Menanam padi boleh dikatakan sama saja dengan melakukan bunuh diri: pupuk tak terjangkau dan masih diperparah hama tikus yang merajalela. Orang-orang di sini belum mengenal pertanian organik.
Tersihir oleh kehijauan alam nan meneduhkan mata dan hatiku, aku seakan menemukan kembali bagian diriku yang hilang.
***
Desa Babakan, tempat kami melaksanakan KKN, jauhnya sekitar tujuh kilometer dari ibu kota Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Luasnya lebih dari 450 hektare, terlalu luas, sehingga kami dibagi menjadi dua kelompok. Itu pun masih menyisakan satu dukuh. Setelah sedikit ribut dengan teman-teman, karena merasa keberatan atas kondisi wilayah, akhirnya kelompok kami mengalah. Kami mendapat wilayah bagian seberang, yang lebih akrab sebagai Sabrang—sebuah dukuh yang berpotensi menjadi sebuah desa. Daerah ini dipisahkan oleh Sungai Cibeuteung dari dukuh lainnya.
Di pinggir jalan, rumah permanen seimbang dengan rumah semipermanen. Bila kita masuk sedikit ke sebelah dalam, bangunan didominasi oleh rumahrumah bilik bambu. Sebagian besar masih berbentuk rumah panggung. Jendela sebagai ventilasi tak perlu dan tak terlalu dibutuhkan. Tak sulit menemukan koya—semacam kolam kecil berukuran kira-kira 2 x 2 meter—di samping rumah (bahkan ada sebagian di depan rumah), yang di atasnya dihiasi dua lembar karung yang terpasang melingkar. Di koya itu, biasanya ditanam ikan lele. Di situlah para penghuni rumah menunaikan hajatnya.
Di sisi lain, ada petak-petak kecil sedalam 20-an senti. Itulah tempat pembibitan ikan-ikan hias setelah anak-anaknya yang baru menetas siap dipisahkan dari induknya yang mereka pijah dalam botol atau kantongkantong plastik yang berisi air yang tergantung di dinding-dinding rumah sebelah belakang. Bibit lele yang kurang dari dua minggu juga biasa ditempatkan di petak-petak ini sebelum diceburkan ke kolam yang lebih besar atau dijual.
Panen menjadi saat yang paling menyenangkan. Kolam-kolam ikan itu dibedah airnya, anak-anak be-rebut terjun ke dalam kolam, menyisir ikan-ikan yang tertinggal. Tak sedikit yang bertelanjang bulat, padahal mereka sudah dikhitan. Setelah kolam dibedah, cacing sutra akan bermunculan beberapa hari kemudian. Siapa pun boleh mengambilnya. Di bawah terik matahari, anak-anak yang bertelanjang kaki, berbekal sebilah bambu, dengan riang menyisir permukaan kolam mencari cacing-cacing sutra. Mereka menjual cacingcacing itu kepada para tengkulak. Segelas cacing sutra ini bisa ditukar dengan seliter beras. Namun tetap saja, orang-orang itu hidup dengan teramat sederhana. “Kau tahu, rumah-rumah yang bagus di pinggir jalan itu kebanyakan milik para pendatang,” kata salah seorang aparat desa seusai acara penyambutan di kantor desa. “Dan, lebih dari 50 persen lahan basah di sini juga sudah bukan milik penduduk asli.”
“Oh ya?” Aku hanya bisa berdecak, berdecak tanpa rasa kagum. Di mana ada gula, di situ ada semut. Wilayah yang subur ini tentu memancing mereka yang punya duit untuk berinvestasi, apa pun caranya.
Tak heran makelar tanah menjadi profesi yang menjanjikan, ibarat menambang berlian di Martapura.
***
Di tengah kehidupan yang sederhana, bangunan pusat peribadatan berdiri dengan megah. Tak hanya itu, di dukuh ini juga terdapat dua buah masjid. Agak merinding mendengarnya ketika salah satunya bernama Masjid Al-Hazn (Kesedihan). Berawal dari orang-orang yang merasa terlalu jauh jika harus bershalat Jumat di satu tempat, mereka kemudian berinisiatif untuk membangun masjid tersendiri. Tindakan ini menyulut kegeraman. Beberapa tokoh dan pengurus masjid lama menolak merestuinya. Namun, keberatan itu tidak menyurutkan niat para penduduk sekitar tempat yang baru untuk berpisah. “Daripada bersembahyang di sana, lebih baik tidak usah.” Permasalahan ini memicu polemik yang tak kunjung berakhir, bahkan sampai ke kantor desa dan kecamatan.
Selain itu, tampaknya kemewahan yang nyaris terkesan elegan dari bangunan peribadatan itu ternyata juga menyimbolkan supremasi kekuasaan. Kupikir, tak terlalu berlebihan kukatakan demikian karena pengaruh para sesepuh di sini jauh lebih kuat daripada para aparat pemerintahan—mereka lebih mengenal Ki Asem Gedhe, Aa Jenggot Naga, Bib SG, atau qari-qariah nasional. Agak sulit menemukan orang yang tahu siapakah camat mereka, apalagi bupati.
***
Sesepuh yang kumaksud di sana adalah ulama, yang awalnya berarti orang yang berilmu, tapi telah terdistorsi menjadi orang yang menguasai ilmu-ilmu agama an sich. Aku berdecak kagum melihat fenomena yang baru kulihat sepanjang hayatku, yakni alangkah banyaknya kutemukan sesepuh berikut majelisnya. Mereka menjadi semacam oasis bagi sebagian besar penduduk, tak terkecuali anak-anak yang justru tampak mendominasi. Di satu dukuh saja tak kurang dari lima belas tempat. Masing-masing mempunyai jadwal aktivitas, dan juga massa. Agaknya, kuantitas massa juga berarti kehidupan, atau bernilai prestisius.
Hampir setiap pagi dan malam Jumat, ibu-ibu memadati majelis-majelis itu, sedangkan bapak-bapak mengambil waktu di malam hari. Mereka menyenandungkan puji-pujian yang meneduhkan hati sebelum acara inti, yakni ceramah dan doa. Mencari ilmu itu wajib, dari buaian hingga liang lahat. Untaian sabda utusan Tuhan menjadi pembuka di setiap kesempatan.
Selain itu, para sesepuh ini, meski tak semuanya, juga menjadi tempat bagi warga untuk meminta nasihat bagaimana bisa memanen ikan-ikan secara memuaskan, gampang mencari jodoh, bahkan bila sudah terpaksa, nikah pun dikabulkan.
Sesepuh juga tempat meminta berkat bukan hanya untuk keselamatan hidup, dan kesehatan, melainkan juga setelahnya. “Saya tekan kuat-kuat kulit di sela-sela pangkal jemari tangannya. Kau tahu, tentu saja sakit, hingga menjerit-jerit,” kata seorang sesepuh suatu kali ketika berusaha mengobati seorang warga yang sakit. Lalu lanjutnya, “Saya memang tidak tahu, tapi mereka memaksa. Apa boleh buat. Anehnya, kadang-kadang memang sembuh. Dari saya atau bukan, entahlah.”
Tak ada dokter di dekat desa ini sehingga seorang mantri suntik dan seorang bidan kebanjiran order—selain menangani hampir segala macam keluhan pasien, juga membuka praktik sunat atau khitan. Tentu saja, hal ini membuat kehidupan mereka jauh di atas ratarata penduduk.
Boleh dikatakan, sesepuh menjadi poros sekaligus napas aktivitas penduduk.
“Jangan kaget kalau nanti menemukan warga aspek,” ujar seorang warga.
“Apa maknanya, Pak?” tanya kami acuh tak acuh.
“Orang-orang yang mengharamkan media elektronik, seperti televisi, loud speaker dan semacamnya. Aspek sendiri bermakna anti-speaker.”
“Lho, memangnya apanya yang salah dengan alat elektronik itu?”