Dinginnya pagi teralihkan hangatnya sinar mentari yang lurus menembus dedaunan. Kemudian tanpa bergantian, sinar itu berdesakkan mendiami bola mata bocah yang sedang tidur . Sisi dalam kelopak matanya memerah seketika. Begitulah Tuhan membangunkannya tiap pagi.
Bocah itu bangkit dari bangku yang dirangkai dari anyaman bambu, orang Jawa menyebutnya lincak. Lincak warisan sekaligus hasil karya kakeknya itu berdiri rendah namun kokoh di teras rumahnya.
Disapukan matanya ke halaman depan rumah sesaat setelah ia memisahkan punggung dari istirahat panjang. Dilihatnya setiap pagi tanpa jemu dan bosan, dedaunan hijau bak panggung megah tempat digelarnya tarian embun pagi, diiringi akapela ciamik kawanan kinjeng tangis, serangga yang bersuara seperti orang menangis.
Meskipun banyak yang lebih suka merayakan Sunday Morning, bocah itu lebih suka Monday Morning. Setiap hari Senin ia pergi ke warung bubur Yu Klumpuk dengan gembira. Namun tak segembira itu pagi ini ketika seorang pria tiba-tiba muncul dihadapannya.
Pria itu tidak terlalu tinggi dan memiliki kulit sawo matang. Senyum manisnya tertutupi kejam-garang kumis dan jenggotnya. Matanya tajam, tidak terlalu mengancam tetapi cukup untuk disalahartikan sebagai intimidasi.
Seketika jantung bocah itu berdegup kencang bagai mangga siap panen yang tertiup badai pagi-pagi. Hampir gugur. Spontan mata memerintahkannya berlari tanpa menunggu persetujuan isi kepala. Kemudian dia berlari kencang ke arah bukit yang berdiri megah di selatan desa.
Diayunkannya kaki sejauh mungkin dia mampu, tetapi tak menambah jarak tempuhnya per menit. Semakin dia berusaha melangkahkan kakinya lebih jauh, semakin lambat laju tubuhnya. Bahkan berulang kali dia jatuh bangun saat menghindar kakek dan nenek yang berusaha memperpanjang harapan hidupnya dengan jogging tiap pagi.
Pria yang mengejarnya tidak menambah kecepatan lari. Dia tak ingin orang lain bertanya-tanya mengapa dia mengejar bocah itu. Kecurigaan akan muncul dan sangat berbahaya baginya. Meskipun demikian matanya tetap menjangkau-jangkau jauh ke arah bocah itu agar tidak kehilangan jejaknya.
Bocah itu mulai lelah. Keringat deras melumuri wajahnya, klomoh. Kakinya mulai menunjukkan tanda-tanda seperti tremor. Matanya meraih hutan cemara yang tepat berdiri di depannya. Bukan tanpa pengalaman. Dia sering masuk ke hutan cemara itu. Tanpa babibu dia memilih tempat yang paling aman menurut pengalamannya.
"Semak-semak dekat sumur tua misteri itu!" dalam hatinya.
Nafasnya mulai tersengal-sengal saat ia mulai menghentikan langkah dan bersembunyi di semak-semak. Kemudian dia mulai mengingat bahwa pria itu sudah beberapa kali mengamatinya.
"Pasti ada yang tidak beres," serunya dalam hati kemudian bertanya, "Mungkinkah aku yang salah? Tetapi apa salahku? Sudah hampir tiga bulan aku memunguti koran-koran ini, setiap hari Senin, tetapi baru kali ini ada orang yang merasa terganggu."
Bocah itu bernama Koko. Usianya tiga belas tahun namun putus sekolah. Bukan karena uang dan bukan karena kemampuan otaknya. Hari-harinya setelah dikeluarkan dari sekolah dipenuhi kegiatan membaca. Kini dia dikejar-kejar seorang pria tiga puluh lima tahun dan tidak tahu sebabnya.
Saat dia sibuk mencari alasan mengapa ia dikejar, seorang bocah lima tahun keluar dari semak-semak persis di samping tempat Koko bersembunyi. Bocah itu melangkahkan kaki lalu berdiri tepat di depan semak-semak tempat Koko bersembunyi, tepat di depan matanya. Ia tak bergeming meski Koko menguatkan otot-otot mata dan mengeluarkan beberapa milimeter mata itu keluar dari kelopak.
"Kakak sedang main petak umpet?" tanya bocah lima tahun itu polos.
Jengkelnya makin menjadi-jadi pada bocah yang pagi-pagi sudah berkeliaran di hutan. Sendirian.
"Setahuku hanya Dora dan Diego, bocah yang punya hobi berkeliaran di hutan sendirian. Huh!" keluhnya dalam hati.
Dia raih sebatang ranting di sisi kirinya, mematahkan agar lebih pendek, lalu mengacungkannya ke bocah itu. Koko berharap bocah itu paham bahwa dia sedang mengusirnya. Bocah itu terlalu menarik perhatian. Koko takut persembunyiannya diketahui pria yang mengejarnya.
Luar biasa. Bocah cilik itu melakukan pergerakan meninggalkan semak-semak tempat Koko bersembunyi. Pesannya sampai ke bocah itu dan rencana berjalan sesuai dengan keinginannya.
Secara mengejutkan, tidak sampai lima menit bocah itu kembali lagi. Kali ini dia membawa sebilah bambu yang diambilnya dari patok proyek pembangunan perumahan di sekitar hutan cemara itu. Diacungkannya sebilah bambu tadi ke arah Koko, seperti hendak mengajak bermain pedang-pedangan.
"Maju kamu monster. Hiyaaattt!" seru bocah itu sambil mengayunkan bilah bambu tadi.