Matahari bersembunyi dari dinginnya pagi. Anak itu tak sabar untuk pergi ke sekolah. Puluhan murid di sekolah juga sudah menantikan kedatangannya. Sebagian besar dari mereka menunggu tepat di depan gerbang, sebagian lagi datang menjemputnya sambil mendorong dan menariknya agar lebih cepat sampai ke kelas. Lebih dari empat puluh orang dari dua kelas menantikannya dengan antusias. Sebuah langkah ceria di ujung jalan selalu bisa menggerakkan mereka semua untuk menyambutnya.
"Kamu punya apa hari ini?"
"Malam ini aku melihatnya dengan sangat jelas. Pakaiannya putih bagai jubah kebesaran malaikat-malaikat surga. Tetapi mereka tak bersayap. Rambutnya hitam lurus, tanpa gelombang sedikitpun," dia bercerita sambil berjalan menuju kelas diiringi puluhan murid lain yang mengikuti bagaikan sedang kedatangan pemimpin yang blsukan atau turba (turun ke bawah) dalam istilah masa lampau.
"Apa yang dia lakukan padamu?"
"Dia tidak melakukan apapun padaku. Dia hanya menampakkan diri tanpa berkata sepatah kata padaku ataupun menyentuhku. Kurasa itu juga yang akan dia lakukan padamu. Jangan takut! Jangan takut!" perintahnya lirih.
Kelas bercerita pun dimulai. Koko, bocah itu, sedang memiliki perhatian khusus pada teman-temannya yang mulai memercayai dunia lain berkat acara tidak jelas di televisi. Belakangan terdengar kabar beberapa temannya bahkan tidak berani pergi ke dapur atau kamar mandi sendirian karena takut bertemu penampakan dan juga takut dirasuki makhluk halus.
Misinya kali ini jelas bertujuan agar teman-temannya tidak memiliki rasa takut pada tempat sepi, hanya karena mitos-mitos yang tidak benar.
Dia mencoba menggiring cara pandang agar mereka menganggap semua roh yang masih bergentayangan di dunia ini datang bukan dalam rangka mengganggu, melainkan hanya butuh didoakan. Karena setiap doa adalah air bagi mereka. Menyegarkan dan akan segera menghantarkan mereka menghadap Sang Pencipta.
Setiap ceritanya dibuat sangat persuasif. Semakin hari semakin banyak yang mendengarkan ceritanya. Tak hanya berhenti di situ, pendengar setia Koko ini juga menceritakannya kepada teman-teman mereka di rumah. Efek bola salju yang sangat membantu Koko menyebarkan 'ajarannya'.
Jam dinding sedang menunjuk angka tujuh, sepertinya tanpa rasa benci. Berbeda dengan teman-teman di depannya ini. Mereka justru benci dengan angka itu meskipun mereka hanya melihat, tidak menunjuk-nunjuk. Pukul tujuh, pagi ataupun malam adalah saatnya belajar. Entah mengapa mereka membenci belajar.