Hari semakin membiru. Matahari tak tampak, tapi masih setia kirimkan sinarnya melalui sang rembulan. Purnama. Sudah menjadi sebuah tradisi di desa ini, bahwa Purnama adalah saatnya anak-anak bermain. Mereka diperbolehkan keluar rumah untuk menikmati indahnya cahaya malam.
Penta, yang tidak memiliki teman, memilih menyendiri di salah satu jurang di antara ratusan jurang lainnya di sekitar rumahnya. Jurang tempatnya duduk adalah jurang yang paling indah. Dia bisa melihat hamparan kehidupan yang sangat luas dan juga kebebasan yang diwakili oleh bintang-bintang berkerlip.
Penta terus mengisi dan mengisi memorinya. Tiba-tiba matanya tertahan pada jurang yang ada di timur lautnya. Dia melihat seorang bocah menelentangkan tangannya bak film Titanic. Hanya sendiri. Tak ada yang memeluknya dari belakang.
Penta pernah melakukan hal itu. Satu-satunya alasan ia melakukan hal yang sama adalah ingin mengakhiri hidupnya. Meskipun tidak menginginkan kehidupannya sendiri, bukan berarti dia merasa baik-baik saja ketika melihat nyawa melayang. Itu adalah trauma dan luka mendalam yang berusaha ia sembuhkan.
Dia mengambil langkah panjang untuk segera sampai ke tempat bocah itu berdiri. Masih punya logika, sehingga dia tak mengeluarkan kata 'hei' sebagai pencegahan yang akan menjadi sangat sia-sia.
Dua ratus meter jaraknya, tetapi dapat ditempuh lebih cepat dari kondisi terang sekalipun. Ini termasuk bagian dari misteri kekuatan normal manusia sepuluh persen. Sembilan puluh persen dikeluarkan hanya saat panik. Sebenarnya bisa dilatih, tetapi banyak yang tak peduli dengan kekuatan super yang ada pada manusia.
Ia kini berjarak sepuluh meter di belakang bocah itu. Langkah jinjitnya memulai penyergapan malam itu. Dia melingkarkan tangan kanannya dari pundak kanan melintang turun kepinggang kiri dan tangan kiri dari arah sebaliknya. Penta benar-benar terjebak pada adegan Titanic.
"Aw...apa yang kamu lakukan?" tanya bocah itu sambil mengaduh.
"Seberat apapun hidupmu, jangan pernah coba-coba mengakhiri hidupmu. Kamu tidak berhak atas itu."
"Kamu sudah gila?!" teriak Feri sambil menyikutkan sikunya pada perut Penta.