"Teng...teng...teng", bunyi logam dipukul tanda sekolah usai.
Ipeh sedikit murung karena ia tak memiliki cukup banyak uang untuk membeli mainan yang sudah ia dambakan sejak lama. Ia tiba-tiba muncul di dalam jarak Penta dan Feri yang berjalan bersampingan lalu melontarkan pertanyaan, "Bagaimana kalau kita lomba lari dari sekolah sampai rumah Feri? Yang kalah membayar lima ribu rupiah."
"Setuju."
"Setuju."
Mereka kemudian memulai adu lari yang telah mereka sepakati itu. Ipeh dengan percaya diri mengambil langkah kecil dan tidak ingin berusaha mengejar Penta dan Feri yang berlari sepuluh meter di depannya. Dia baru mulai lari saat Penta dan Feri berada pada jarak dua puluh meter. Saat itu mereka berdua sudah kelelahan.
Ipeh tinggal di tempat ini sepanjang hidupnya, berbeda dengan kedua temannya yang terlahir di tempat yang berbeda. Dia sudah terbiasa berjalan jarak yang luar biasa jauhnya bila hendak pergi ke sekolah atau sekadar membeli kebutuhan rumah tangga. Jadi dia tahu bahwa sprint di awal balapan hanya akan membuatnya terhenti untuk mengisi penuh kembali energinya.
Ipeh akhirnya berhasil mendahului kedua temannya hanya dengan lari kecil. Staminanya sangat baik, selain itu jalan mendaki menyulitkan langkah kedua temannya.
Ipeh melakukannya seolah dia seorang atlet. Sudah tujuh kilometer Ipeh tempuh. Artinya, masih tiga kilometer menuju rumah Feri. Ipeh melaju sangat jauh. Teman-temannya tidak terlihat dalam pandangan mata.
Namun kemenangan Ipeh tertunda ketika dia melihat Ayah Feri telah menunggu anaknya di depan rumah. Ayah Feri terkenal galak. Kegagalan proyek itu yang membuatnya mengalami gangguan kejiwaan. Tapi tidak selalu. Saking warasnya Ayah Feri bisa merancang rumah yang cantik perpaduan dari berbagai budaya. Rumah itulah yang menjadi markas Feri dan kawan-kawannya.
"Feri mana Peh?"
"Nganu...itu di belakang sama Penta."
Karena takut kena omel, Ipeh bergegas pergi. Dia tidak mau masuk dalam permasalahan orang lain.
Langkah-langkah kecil penyesalan Ipeh karena tidak bisa merayakan kemenangan dan mengambil taruhannya untuk membeli mainan terhenti oleh Latief yang mengagetkannya.
"Aku belum punya", kata Ipeh seakan telah mengetahui maksud kedatangan Latief.
Raut muka keceriaan di wajah Latief tiba-tiba terbenam. Padahal Tamiyanya sudah siap dengan dinamo cukin untuk bertarung melawan Ipeh.