GURU

Di Pindho Bismoko
Chapter #11

Bengkel Kura-Kura

Sinar mentari berpendar dibalik asap pembakaran dapur-dapur yang berusaha mengepul meski harga bahan pangan melambung tinggi. Kayu bakar kembali diminati ketika harga minyak tanah tak lagi membumi.

Ikat pinggang dikencangkan namun kebutuhan pokok tetap tak dapat menunggu. Uang seribu sudah bisa untuk membeli minyak tanah dua liter beberapa tahun lalu, tetapi satu liter pun kini tak terbeli.

Krisis sedang melanda negeri yang sesungguhnya kaya–punya banyak sumber daya alam, tetapi tidak bisa menikmatinya sendiri. Saudara dan musuh menjadi satu kesatuan utuh hingga tak lagi bisa dibedakan. Negeri ini telah dijual kepada orang asing demi keuntungan segelintir orang.

Pendidikan tak lagi terjangkau bagi tangan-tangan miskin yang berusaha merobek emblem miskin dalam baju kehidupan mereka, setidaknya bagi anak mereka.

Bahkan sekolah milik negara pun bukan solusi bagi si miskin untuk bisa mendapatkan pendidikan. Terlalu banyak pungutan tidak jelas yang memberatkan orang tua mereka.

Tepat di persimpangan jalan desa itu ada sebuah toko bunga. Di balik toko bunga tersimpanlah cinta yang dalam. Berdiri sebuah Sekolah Menengah Pertama yang mencoba tetap berdiri meski murid pun mereka yang cari. SMP Belarmino merupakan sebuah sekolah yang bisa dibilang hampir mati. Apalagi jika tahu bahwa bangunan yang buruk itu pun mereka pinjam.

Gedung sekolah itu tidak sepenuhnya berdinding batu bata, bahkan bisa dibilang sebagian besar terbuat dari anyaman bambu yang sudah tua. Langit-langit tanpa asbes itu dipenuhi dengan sarang laba-laba. Rangka-rangka atapnya hanya terbuat dari bambu yang umurnya lebih tua dari murid-murid yang belajar di tempat itu.

Alasnya memang sudah terbuat dari campuran semen dan pasir, tetapi karena sudah sangat tua dan kurang terawat maka tak terhitung jumlah retakan yang membuat tanah di bawahnya menyembul ke permukaan. Buliran-buliran tanah itu tak jarang bertebaran di meja dan muka penghuninya.

Kondisi kelas tak ubahnya dengan gudang. Ruang kelas satu, dua, dan tiga hanya disekat oleh lembaran papan kayu yang tidak dapat menutup seluruhnya. Guru mengajar dengan suara lirih, bukan karena tidak mau dan tidak bisa, hanya saja mereka harus berbagi ketenangan dengan kelas di sampingnya.

Lihat selengkapnya