Cakrawala terlihat suram pagi itu. Pepohonan menari seperti sedang berada dalam konser. Entah pepohonan yang menari atau sesungguhnya angin yang menggerakkan. Situasi pagi ini tak seperti biasanya. Pagi hari di desa memunculkan imaji tentang ketenangan, kabut pagi yang tebal, embun-embun menetes dari ujung daun, dan suara burung bersautan tanpa henti.
Benar sekali, tepat pukul delapan pagi hujan lebat menyapu sekolah itu. Suaranya yang sangat ribut menyulitkan para guru untuk berebut perhatian dari sang hujan. Beberapa murid mulai mengantuk, sebagian dari mereka berusaha untuk tetap terjaga dengan menopangkan dagu pada tangannya. Sungguh sangat sulit.
Di ruang guru air mulai menetes dari atap yang kurang rapat. Terlihat aliran air mengalir pada setiap bambu penopang atap. Sisko mencari ember untuk menampung air yang menetes itu, sedangkan guru lain mulai mengepel sekitarnya yang mulai menggenang air.
Jam istirahat tiba. Biasanya hanya murid-murid yang menantikan jam istirahat, kali ini para guru juga mendambakannya. Dinding yang separuhnya merupakan bilik bambu membuat suara hujan makin kejam mengaburkan suara guru itu. Biasanya Domi datang pada saat istirahat, namun sepertinya ia tidak akan datang. Kalaupun ia sempat keluar rumah, pasti ia akan terjebak di tengah perjalanan.
Tak ada yang membawa payung, sehingga mereka hanya bisa duduk-duduk di teras sempit depan sekolah. Bermain air dari tetesan genteng, sesekali menggoda temannya dengan mencipratkan air ke wajahnya.
Penta masih menyimpan dendam setelah dipermalukan oleh Yayuk dihadapan murid lain tempo hari. Sebagai pembalasan, dia mendorong Yayuk yang sedang menatap tetesan air hujan. Karena terasnya cukup tinggi dari tanah halaman Yayuk jatuh tersungkur dengan kepala jatuh terlebih dahulu. Wajahnya berlumuran lumpur. Tubuhnya basah kuyub. Tampaknya ia mulai menangis, namun air matanya tersamarkan air hujan.
Gerombolan Serigala tertawa terbahak-bahak melihat muka Yayuk yang berlumuran lumpur. Timur melayangkan lirikannya kepada Penta. Baginya, apa yang dilakukan kepada Yayuk ini sudah berlebihan. Masih beruntung Yayuk dapat bangun lagi, bagaimana bila ia pingsan karena kepalanya terbentur tanah.
Timur mendatangi Penta lalu berkata, "Kenapa kamu selalu mengganggunya?"
"Apa urusanmu?" jawab Penta.
"Dasar pengecut. Kamu hanya berani dengan perempuan saja?"