Guruku Yang Hilang Dalam Pandemi

ajitio puspo utomo
Chapter #1

Bagian Satu: Introclude

Bagiku suasana kali ini sangat miskin sekali, mengapa? Tak ada lagi teman-teman, adik-adik atau kakak-kakak kelasku yang biasa berjalan kaki didepan rumah, atau dengan sepeda-sepeda united buatan asal Citeureup itu berseliweran berangkat menuju sekolah. Suara-suara motor para pekerja kantor yang berangkat sepagi mungkin agar diberi penghargaan dan kenaikan gaji, yang menjadikan mereka karyawan terbaik, karena harus selalu datang lebih awal daripada yang lain, atau semua itu demi sebuah penghargaan semata—agar terpandang. Tak ada. Jarang sekali. Jikalau pun ada hanya mereka-mereka yang menentang secara sembunyi-sembunyi kebijakan pemerintah sebab aturan lockdown nya. Atau mungkin juga keadaan yang memaksa.

Pagi ini sepi dan lengang, diteras aku hanya tertidur terlentang memandangi awan-awan dengan pikiran kosong anak kecil, hanya bunyi Mak Uni dengan sapu ijuknya, menyapu ranting-ranting yang berserak dengan daun-daun yang terbawa bersamanya, layaknya Dragon Boat sebuah olahraga air di sungai kapuas sana, kayuhan dari sesapuannya seperti mendayung diatas sampan dengan kekuatan penuh dan secepat pergerakan sirip ikan untuk bisa mencapai garis finish dan menang.

Mak Uni selalu menyapu setiap pagi, entah halaman rumah siapa saja yang dekat dengan pagar rumahnya dan terlihat kotor pasti dibersihkannya. Ya Allah! Mak Uni memang tanpa pamrih. Bahkan rumah Ibuku. Badannya mungkin sudah senja samar dicakrawala, seperti emak-emak pada umumnya dengan keriput dan bungkuk, tapi urusan bangun pagi Mak Uni selalu menang sebab Mak Uni selalu bangun sebelum subuh dan selepas itu mandi. Ya mandi! Nenek ini tak kenal dingin pagi hari, katanya mandi sebelum subuh adalah ritualnya agar tetap sehat dan kuat sampai sekarang, rahasia otot kawat tulang besi agaknya ditemukan dengan mandi pagi menurutnya. Mak Uni tak mengenal jarum suntik, sewaktu muda, tak pernah disuntik katanya dan aku percaya cerita itu, jikapun sakit hanya dua dedaunan yang dia jadikan obat. Vernonia Amygdalina dan Moringa Oleifera atau warga kampung sini biasa menyebut dua daun itu, daun Afrika dan daun kelor.

Memang khasiat daun ini sangat tokcer, sampai tua begini Mak Uni masih sering mengkonsumsinya dengan intensitas yang tak terlalu, sebab mulut dan rasa Mak Uni juga butuh dari sekedar sayur sop kelor dan jamu godok daun Afrika. Hanya seminggu tiga kali katanya. Selebihnya ayam goreng, dadar, gulai kambing dan segala ang berkarbohidrat tinggi juga kolesterol masih dilahapnya juga.

“Mak!.” sapaku lewat teras depan

Menoleh

“Oh, dek bagus.” dengan senyum penuh ikhlas sambil tetap mengayuh sapunya itu, membersihkan daun kering dan ranting didepan pagarku

“Ini dari Ibu, sayur asem sama ikan asin.” kusodorkan lauk makan itu

“Makasih dek bagus, mana Ibumu?”

Lihat selengkapnya