Setiap habis sholat ashar pria kecil berambut tebal lurus dengan mata bundar coklat tua layaknya gunduh yang penuh kepolosan dan keluguan hendak memasuki masa remaja itupun selalu berada pada pekarangan kecil belakang rumahnya, duduk memandangi burung-burung daranya walau hanya satu jodoh itu. Diteduhan rindang pohon mangga gedong yang rimbun menjulang tinggi keatas dicabangi ranting kecil hingga besar begitu lebatnya, apalagi sekarang musim mangga diujung-ujung tahun, atau agaknya diantara bulan-bulan yang berakhiran-ber mangga mulai bermunculan mekar dan harum, terkadang jika sudah seperti itu Bagus tak akan kemanapun selain menaiki pohon dan memetikinya bersama dua temannya yang lain Yandi dan Tofa.
Kata Ibunya pohon mangga itu ditanam oleh kakeknya selagi waktu seumuran Bagus, kakeknya senang menanam dan menernak berbagai macam hewan dari mulai ayam, bebek hingga ikan-ikanan. Pohon mangga itu kata Ibu disiram dengan air doa dan dzikir sehingga memunculkan keajaiban kecil dipekarangan keluarganya. Yang setiap pagi dan maghrib dilantunkan Kakek, beliau memang alumni pesantrenan, hidupnya dulu hanya dari pesantren ke pesantren. Sebelumnya pernah mengenyam pendidikan namun hanya sampai kelas dua SR atau sekolah rakyat. Tapi benarlah, buah dari doa dan dzikirnya itu dapat dirasakan sekarang, tanaman yang ditanamnya itu jelas memiliki sisi keberkahan bagi cucunya—Bagus, bahkan dari segi struktur pohonnya saja sudah jelas beda seperti kedapatan membawa berkah. Kiri kanannya benar-benar menutupi pekarangan kecil milik keluarga Bagus dari panas terik matahari seperti huruf Y besar dengan cawat-cawat yang rindang. Apalagi rasa dari buahnya, pernah diceritakan ada penebas mangga keliling atau didesa ini biasa disebut pengunduh pentil,tawar menawar harga mangga gedong itu dengan Ibu. Kata Ibu jika ingin mengambil silakan saja sepuasnya, akhirnya si penebas mangga mengambilnya se-yang bisa didapatnya. Penebas itu kegirangan keranjang buahnya penuh tapi seakan-akan buahnya tak berkurang dia mencoba mencicip satu mangga gedong itu, dan k atanya rasanya manis lalu berbeda dari mangga yang lain, namun entah apa yang membedakannya. Bukan hanya si penebas mangga itu tadi yang boleh merasakan, para tetangga dekatpun jika sudah musimnya masak disuruh ibu untuk mengambilnya sendiri dan benar saja banyak tetangga-tetangga yang mengambilnya. Untuk membuat jus, manisan atau yang bisa dijadikan olahan dengan bahan dasar mangga gedong. Ujung-ujungnya keluarga Bagus tak terlewatkan oleh pemberian dari para tetangganya. Jelas saja itu adalah buah berkah dari Kakek dan Bagus mewarisi salah satu kegemaran sang Kakek walau bukan dari segi agama. Namun itu adalah keserasian dari leluhur, reinkarnasi dari sifat-sifatnya. Bagi bagus menemani dan memelihara burung dara adalah sebuah kenyamanan tersendiri.
Kali ini dia duduk-duduk saja, memandangi burungnya sambil memegang mangga ditangan kanannya, belum sempat dikupas. Bagus kecil hendak menunggu dua sahabatnya—Tofa dan Yandi, rumahnya sangat berdekatan, Yandi dibelakang pekarangan bagus sedang Tofa disebelah rumah Yandi. Sehingga jika Bagus menaiki pohon mangga tersebut maka terlihatlah beranda depan masing-masing rumah mereka, jika dipanggil hanya tinggal berteriak agak keras. Dan benar saja mereka berdua datang dengan membawa besek burung (semacam kandang burung khusus untuk burunga dara yang bentuknya kecil, terbuat dari anyaman jati hanya muat untuk dua jodoh burung dara).
“Gus, ayo ke lapang.” ucap Tofa
“Sebentar, mau naik keatas dulu ada yang sudah matang soalnya.” balas Bagus