Maka mereka pulang dengan rasa senang dan puas. Sore mereka kembali seperti sebelum datangnya pandemi ini, walau keadaan ini ditengah pandemi. Suasana-suasana itu masih terasa, matahari yang tenggelam dari barat jauh, sehabis mereka mengadu burung dara adalah scene klimaks paling indah. Ditambah lagi kepayahan si paling pintar matematika Tofa dalam memainkan harmonika. Dalam dunia serba digital ini, feel itu masih mereka dapatkan, walau harus curi-curi dari kebijakan pelarangan untuk diam dirumah saja tapi daripada, ketimbang sore nun menyenangkan ini mereka habiskan dengan bertatap pada handphone. Mending saja untuk bekal belajar namun jika sudah untuk dibuat yang lain yang tak berguna, apa boleh buat?. Nakal tak apalah, asal wajar-wajar saja.
Musholla kali ini sudah bisa dihinggapi para jamaah desa Kedung Jaya. Baru satu minggu dibuka. Namun sebenarnya musholla tak pernah ditutup sama sekali atau melarang para warga Kedung Jaya untuk sholat, tidak!. Begitupula pengurus DKM itu tak pernah melarang. Namun karena menghormati perintah dan kebijakan masa pandemi dengan pelarangan atau tidak boleh berkerumun, maka sholat jamaah ditiadakan, sebab di desa sebelah ada satu keluarga yang terkena virus pandemi ini. Maka dari itu kebijakan RW setempat yang menyuruh ketua DKM sudah sangatlah tepat. Hanya Bagus, Yandi dan ketiga putra Pak Yasin lalu Pak Yasin itu sendiri yang kadang mencuri jamaah dengan sembunyi-sembunyi, terkadang pula Tofa ikut namun tak sering. Seperti bermain petak umpet, mereka jamaah pada waktu sholat maghrib dan isya saja. Itupun maghribnya mereka ulur sedikit waktunya dua puluh lima menit sebelum isya. Alasannya hanya satu agar tak ketahuan. Maka lampu-lampu dimatikan seperti bukan musholla pada umumnya lalu di ikuti suara TOA yang dimatikan pula agar tak berbunyi. Dan belum pernah sekalipun ketahuan.
Momen-momen itu terlihat sama seperti orang yang dicurigai sebagai maling yang sedang mengendap mencuri sepeda motor di terangnya lampu rumah yang dia ingin curi motornya, hanya saja takkan ada yang tahu bahwa itu benar-benar maling. Agaknya kami salah namun agaknya pula kami rindu suasana jama’ah. Pak Yasin sendiri jika sudah selesai sholat pasti rintik air matanya berjatuhan deras, pada baju koko putih yang selalu ia kenakan. Air matanya yang jatuh adalah buai dimana ia sangat suka berjama’ah, apalagi selesai isya bapak-bapak, seperti bapaknya Yandi: Pak Musa lalu Pak Karni si pedagang bakso keliling, hinggap di musholla ini setiap isya beserta Pak Panjul sesepuh yang tenaga serta bandannya masih terlihat tegak, berkumpul mengobrol perihal-perihal kecil dunia pada bahu-bahu yang disandarkan ke-mereka. Ditemani kopi-kopi hitam, kadang kala dari obrolan-obrolan mereka yang remeh temeh itu cukup untuk melepas satu dua kekangan tuntutan dapur dari para istri mereka—kecuali Pak Panjul yang sudah tak mempunyai istri—juga tuntutan pendidikan anak-anaknya. Terkadang juga Pak Panjul memberi nasihat-nasihat yang renyah, maklum saja dia paling sepuh diantaranya.
Maka selepas tangis Pak Yasin kami langsung bergegas pulang kerumah masing-masing, mengerjakan PR dari guru sekolah kami, yang penjelasannya tak kami pahami sebab masih dijelaskan via video, jika tatap muka saja terkadang kami tak paham apalagi pembelajaran seperti ini, lewat video. Bagus sendiri selalu bertanya mengenai pembelajaran lewat video pada Ibunya, karena banyak dari satu dua materi yang terkadang tak ia mengerti. Dan Ibunya sendiri dituntut untuk bisa mengajari—bagus—supaya paham. Situasi seperti ini memang menjadi panggung untuk setiap Ibu agar selain memberikan pembelajaran secara moralis sekaligus juga mengajari pembelajaran secara teknis dalam pengampuhan sekolah, apalagi sekolah dasar. Mereka dituntut untuk mampu menjadi benar-benar Ibu yang segala bisa serta fleksibel dalam mengurus pemenuhan pendidikan anak. Walau tidak menyebutkan satu persatu secara eksplisit, namun pada masa pandemi sekarang seakan-akan semua Ibu didunia dituntut harus mengupdate segala ketidaktahuannya khusus dalam bidang pendidikan. Masa-masa dimana mereka tak mendapat asupan ilmu dunia pendidikan pada masa mudanya, sekarang adalah momentum bagi mereka yang masih mempunyai semangat dalam mengambil segala “kemungkinan” untuk bisa lagi menuntut ilmu, dari berbagai kesibukan dapurnya. Apalagi ilmu mereka akan dimanifestasikan ke masa depan anaknya. Maka terberkatilah para Ibu yang hidup pada masa sekarang.
Lalu sampailah Bagus pulang kerumah dengan sekelumit PRnya. Sekali waktu Bagus bertanya pada Ibunya, dia akan bertanya jika benar-benar dia tak paham. Dalam sisi pendidikan pria kecil bermata gunduh polos ini mudah mencerna ragam penjelasan, tapi tidak untuk kelas matematika, hanya Tofa yang mampu beradaptasi dengan angka-angka dalam rumus yang sulit. Hari ini Bagus kedapatan pengertian yang tak bisa ia pahami, di pelajaran Bahasa Indonesia. Sinyal yang timbul tenggelam membuatnya menghambat segala yang ingin bocah bermata gunduh itu tahu. Materi tentang pendalaman Bahasa Indonesia, dimana mencari gagasan utama yang terdapat di paragraf deduktif dan induktif, serta berbagai hal kompleks lainnya yang menjadikan sebuah bahasa itu sebuah pemahaman dalam penggunaan kalimat yang benar-benar harus dipelajari dengan baik bagi setiap warganya.
Maka dengan kepintaran yang kritis Bagus bertanya pada Ibu, walau agak lugunya.
“Ibu ciri paragraf induktif adalah gagasan utamanya terletak pada akhir kalimat, sedangkan deduktif terletak pada awal kalimat benarkah?”
“Iya Gus, benar.” jawab Ibunya halus
“Dan satu lagi jika kita menguraikan sebagian kata-katanya maka didapatkan beberapa ke khasan, salah satunya sebagai contoh; paragraf deduktif yang mempunyai pengembangan pola umum-khusus-khusus-khusus. Sedangkan induktif hanya berupa kalimat-kalimat penjelas dalam sebuah kesimpulan yang disusun dan tak sumbang bunyi nya dalam akhirannya.”
“Lalu apa pertanyaanmu Gus? Yang membuat kamu tak paham, pada bagian apa?” lirih jawab Ibunya