Guruku Yang Hilang Dalam Pandemi

ajitio puspo utomo
Chapter #5

Bagian Lima: Bertemu Di Sekolah

Senin pagi ini, semburat sinar cahaya matahari dari arah timur pekaranganku terasa sangat hangat. Rindang-rindang dedaunan pohon mangga menjadi payung keteduhan tersendiri bagi kandang burung daraku. Lalu disertai angin pagi yang sedikit membuat bulu kudukku berdiri menjawab semua keharmonisan suasana. Kompilasi seperti ini dibalut dengan awan-awan yang setengah mengumpul timbul lalu pergi kearah tiupan angin yang membawa mereka menuju keharibaan para anak-anak yang sedang berjalan kaki di padang lapang sana, yang sedang hendak berangkat sekolah. Apalagi dibalut langit pagi ini, merupakan sebuah background kekuasaan-Nya yang benar-benar tampak sejuk dipandang. Kurasa hari ini adalah sebuah lukisan karya Von Gogh dengan tema surealismenya yang menakjubkan. Dalam aliran semacam ini maestro asal belanda Vincent Von Gogh adalah seorang bintang utama dari sekian banyaknya pelukis yang mengacu pada aliran surealis.

Seperti Von Gogh, lukisan surealisme terbentuk karena terciptanya keadaan yang membuat seseorang mengalami daya imajinasi kuat untuk dituangkan kedalam sebuah karya lukis sebab terdorong dari keadaan alam sekitar. Yang membuat seorang pelukisnya mengalami kenikmatan suasana secara visual dalam otaknya dari bentangan euforia yang dia alami. Sehingga daya imajinasi tersebut, dibalut dengan kreativitas dapat direalisasikan kedalam bentuk nyata lukisan. Pagi ini adalah tinggal giliranku menghidupkan lagi daya imajinasi dan kreativitasku yang telah lama digantikan oleh sekumpulan pikiran yang itu-itu saja,—memberi makan dan mengandangi burung-burung saja setiap harinya. Sebelumnya berhari-hari sudah kutanyakan pada Bu Sinta tentang kapan ke sekolah lagi, lewat handphone ku. Namun jawab Bu Sinta wali kelasku yang baiknya selayak bidadari surga hanya satu “Tunggu, keputusan kepala sekolah nak!” dengan pesan seperti itu aku tak pernah membayangkan seperti apa ekspresi Bu Sinta. Apakah dia marah telah kutanyai terus menerus ataukah dia kegirangan ditanyakan muridnya tentang kapan bertatap muka dan belajar lagi bersamanya. Aku tak bisa mengira-ngira, tapi sekarang rinduku kepada Bu Sinta telah terbuka, celah dilorong gelap keberjarakan yang kami tampung selama ini hampir sirna.

 Semula didepan pintu kelas itu aku tertegun entah kenapa dan mengapa, diam sejenak merasakan. Ada rasa yang sebenarnya tak mudah diungkapkan tapi langkah pertamaku mengalahkan diamku di depan pintu itu. Dibelakangku ada murid lain yang kukenali Sifani dia datang sesaat setelah aku datang memberikan senyum dan pertanyaan sapa dengan lugunya “Gus, tumben kamu berangkat pagi-pagi sekali?” tak kujawab dan hanya kubalas dengan senyum saja. Aku tak terlalu akrab dengan anak perempuan berambut ikal itu. Wajahnya memang manis kulitnya coklat sawo, dan yang membuatku segan adalah dia anak dari salah satu guru di SDN 1 Kedung Jaya ini. Anak ini cengeng tak ketulungan, menangisi hal-hal remeh di kelas. Maka dari itu dia selalu aku jauhi sebab aku tak ingin berurusan dengan ibunya nanti.

Semua murid berdatangan silih berganti hingga berjumlah dua puluh enam, lalu Yandi dimenit-menit akhir menjelang bel sekolah masuk. Hari ini aku tak berangkat bersama dengannya, dia kesiangan tadi. Malamnya dihabiskan Yandi untuk membantu membuat bolu goreng dari yang dipesan kepada Ibunya. Dia sampai larut membuatnya mengorbankan waktu tidurnya untuk membantu pesanan sang ibu. Ibu yandi handal membuat makanan kue-kue kering selain bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada juragan didesa sebelah. Terkadang untuk menambah bahan-bahan dapur Mak Ningsih—ibu Yandi—jika ada acara-acara tertentu untuk membuat makanan kue-kue kering maka tak pikir dua kali beliau akan langsung dengan senang hati menerimanya. Dan sekarang katanya ada acara khitanan didesa sebelah, sehingga harus ada kue bolu goreng seratus biji.

“Aku baru tidur sekitar dua jam an Gus.” kata dia waktu memilih semeja denganku.

“Mak mu ada pesenan?”

“Iya.”

Disebelahku, lalu dia memilih duduk sebangku denganku. Sudah sejak kelas satu kami tak pernah pisah bangku. Orang-orang bahkan mengira kami adalah kembaran padahal tidak. Kami hanya teman sejak kecil dengan hobi yang sama memelihara burung dara. Pernah orang berpikiran lalu bertanya pada kami dengan pertanyaan yang sakit sekali. Tentang orang tua kami “Ibu kalian mungkin satu namun bapak kalian berbeda” ah sialan, dari segi fisik saja kami sudah jauh berbeda. Dan yang paling menyakitkan yang bilang begitu adalah teman sekelas kami sendiri yang sekarang sudah pindah sekolah. Orangnya agak sombong memang, dan aku tak ingin memberitahu siapa namanya. Katanya sekolah disini jelek bangunannya. Temboknya lusuh, dan langit-langitnya banyak yang pecah. Hanya karena itu dia mengorbankan keseruan disini untuk dapat pergi ke sekolah lain.

Lihat selengkapnya