Maka ke esokan harinya, setelah aku belajar menerangakan holiday activities yang harus diterjemahkan dalam bahasa yang sama sekali tak kukehendaki untuk dipelajari sebenarnya yaitu, bahasa inggris lewat pembelajaran online, lalu setelahnya Bu Sinta lagi-lagi memberikan tugas tentang pengertian narative text, walupun untuk minggu depan tetapi terasa sangat membosankan jika tak berada dalam ruangan sekolah. Maka selepas jam istirahat dari pembelajaran online pukul setengah sepuluh, aku sama sekali tak ikut lagi pembelajaran itu, apalagi pelajaran selanjutnya adalah tentang sejarah ah, aku sama sekali tak kuat belajar sejarah. Memang saat itu bisa dikatakan bahwa aku sedang bolos pelajaran. Hari ini fokusku hanya satu mengawin silangkan burung daraku untuk diambil keturunan mereka, dan mengeceknya apakah bagus atau tidak dan benar apa salah tentang pembreedingan ini. Jika benar maka kuputuskan untuk melanjutkan saja ternak burung dara ini, menggantikan Pak Sulaeman.
Walau sudah berjodoh sepasang burung dara yang kuterima dari Pak Sulaeman, akan tetapi masih bisa aku ganti pasangan dari setiap jodohannya. Memang agaknya, burung dara itu disimbolkan sebagai burung yang setia dan penuh kasih tapi nyatanya tidak begitu. Dan tahu tidak yang membuat bercak kotor pada pernyataan itu sebenarnya adalah peternak burung dara itu sendiri, untuk mendapatkan keturunan yang berkualitas dan mumpuni maka kawin silang adalah sebuah keharusan. Skeptis memang dari penyimbolan kata burung dara ini, tapi para peternak sama sekali tak peduli. Mereka lebih money oriented, yah kita tahu saja bahwa pekerjaan mereka tak lebih dari sekedar mengembangbiakkan lalu menjualnya. Perkara seperti itu pasti dihiraukan oleh mereka, tapi penyematan kalimat bahwa burung dara adalah sebuah simbol kesetiaan dan cinta kasih akan tetap ada dan akan terus hidup.
Pukul sepuluh kurang tigapuluh menit kumatikan saja handphone ini dan lari ke pekarangan belakang. Bau-bau kotoran burung dara adalah sebuah kerinduan yang mengerang keras pada dadaku ini. Dan hari ini aku mencoba menjodohkan jantan berwarna meganku dengan betina yang kuterima dari Pak Sulaeman, begitupun betina coklatku dengan jantannya. Burung dara tidak mempunyai kecenderungan ‘malu-malu’ saat pertama kali dimasukkan dalam satu kandang, apalagi sang jantan. Suara khas dari tembolok leher sang jantan akan terasa berat dan bersuara nyaring ketika dipertemukan dengan betina, maka kumasukkan mereka dalam satu kandang, selama tiga hari. Sebagai salam kenal dari keduanya, lalu setelah tiga hari itu kupindahkan dalam besek ‘cinta’ agar mereka semakin erat saling mengenal, dalam waktu satu minggu. Dan besek juga bisa dikatakan penjara cinta bagi burung dara itu sendiri, kenikmatan remang redup cahaya dengan ruangan yang pas untuk berduaan, maka dalam bentuk cinta mereka akan keluar sebagai pasangan harmoni. Dalam seminggu ini kubiarkan mereka untuk bercengkerama. Tak ada tanda-tanda sang jantan tak menyukai warna dari betinanya, dan juga sebaliknya.
Melihat mereka dalam satu kandang besek memang sangat menyenangkan, agaknya saat pandemi ini. Hiburanku salah satunya adalah seperti itu, kepuasan batin ini terobati dengan hobi yang kecil dan remeh bagi sebagian orang lain. Lalu langkah Tofa terdengar dari arah timur dan menyapaku dikandang pekarangan ini.
“Gus, kamu sudah kawin silangkan?” pekik Tofa menyapaku lewat pertanyaan
“Sudah Fa,”
“Bagaimana dengan Yandi?”
“Mungkin juga sudah” lalu kutambahkan “Kamu sendiri dapat betina dari Pak Sulaeman, kenapa tak kamu kawin silangkan saja?”
“Kan sudah kubilang, jantanku tak suka warna betina nya.”
Aku balik bertanya padanya
“Bukannya kamu sekarang sekolah online Fa?”
“Sudah Gus, guruku bilang ‘cukup sampai sini saja’ lalu dia memberikan tugas untuk minggu depan. Lha kamu sendiri juga kan sekolah online Gus? Kenapa ada di belakang pekarangan kandang?” tanya Tofa balik
“Aku bolos Fa. Hehehe.” tanpa sedikitpun merasa berdosa aku tertawa
“Dasar kamu ini!”
“Sudahlah, aku kehilangan rasa belajar seperti ini.”