Guruku Yang Hilang Dalam Pandemi

ajitio puspo utomo
Chapter #9

Bagian Sembilan: Protokol

Ditengah riuh ramai perbincangan para warga desa yang tak mau melepaskan tema tentang ‘satu keluarga yang terkena virus covid’ ini, pengetatan protokol kesehatan mulai diberlakukan didesa kami. Berbagai Bhabinkamtibmas dan aparatur lain menjadi penegak hukum, jika ada warga yang tak memakai masker maka akan dikenakan sanksi ditempat, seperti push up atau membersihkan sampah. Namun banyak dari para warga kami yang tak memakai masker, seperti yang Pak Musa alami—Bapak dari Yandi—tengah kepergok oleh aparatur desa dimalam hari itu. Sebab dia tak memakai masker yang seharusnya diwajibkan sekarang ini.

“Selamat malam Pak?” tegur seorang Bhabinkamtibmas itu

“Iya, malam Pak? Ada apa ya Pak? Kenapa saya diberhentikan. Saya hanya ingin pulang kerumah, saya habis beli lauk untuk keluarga saya”

“Mohon maaf Pak, itu tak ada sangkut pautnya dengan kami, namun karena ada kejadian dan berita di desa ini yang terkena paparan virus covid kami ingin menertibkan masyarakat” lalu dia menambahkan “Masker bapak dimana?”

“Saya tidak punya itu pak.” jawab Pak Musa

Maka dengan sigapnya seorang Bhabinkamtibmas itu memberikan masker dengan bayaran sanksi yang harus diterima Pak Musa. Malang sekali Bapak Yandi ini. Dirumahnya ia benar-benar tak memiliki masker yang cukup untuk satu keluarga, hanya punya dua buah masker itupun milik Yandi dan istrinya.

Pak Musa terkena sanksi ditempat dan memilih untuk membersihkan sampah yang tergeletak dijalanan. Pak Musa awalnya tak pernah memakai masker atau memang ia tak peduli, karena satu penyebabnya yaitu tak pernah tahu berita tentang covid ini. Sehari-harinya dia hanya bekerja kuli bangunan untuk keberlangsungan anaknya, dia tak pernah mengerti virus ini apa dan bagaimana datangnya, yang ia yakini tubuhnya kebal sebab makanan yang dia makan semuanya mengandung nutrisi yang mampu menangkal segala macam ancaman tubuh. Sayur singkong, tempe dan tahu lalu jika ada tambahan rejeki maka ayam goreng akan dimasak oleh Mak Ningsih. Tiap harinya hanya itu-itu saja, itulah yang menjadi dasar keyakinan orang tua dari Yandi ini. Tapi sekarang dia mulai sadar akan hal itu sehingga masker selalu dikenakan kemana-mana olehnya, pertama jika dia tak memakai masker Yandi akan menegur bahkan sampai memarahinya, kedua karena dia tak ingin lagi bertemu dengan aparatur desa seperti Bhabinkamtibmas yang dimatanya adalah sebuah ‘hantu hidup’.

  Adapun riwayat keluarga Ratih yang transit kedaerah tertentu didesa kami ditelusuri juga, seperti kemungkinan mereka mampir kewarung ataupun tetangganya, namun data yang ditunjukkan ketua RT setempat kami menunjukkan tak ada kontak erat dengan warga sini. Keluarga Ratih langsung menuju kerumahnya, dan yang membuat takjub adalah ketika mereka tahu bahwa paman mereka terkena covid mereka pulang dan langsung menelpon pihak terkait virus ini lalu menyerahkan diri. Sungguh sebuah keberanian yang sangat harus mendapat penghormatan bagi siapa saja. Akan tetapi penunjukkan keberanian mereka jangan sampai dibayar mahal oleh pengucilan dari para warga. Warga yang baik harus tetap sadar dan sepenuhnya mendukung atas kesembuhan sesama.

*****

Kemarin Bu Sinta memberitahukan lewat pelajaran terakhir online bahwa minggu ini kelas tidak diadakan tatap muka selama waktu yang belum ditentukan, kembali. Kabar itu disampaikan Bu Sinta dari kepala sekolah kami. Minggu ini jadwal hari rabu kami tatap muka seperti biasa, seharusnya, tapi karena kejadian keluarga Ratih maka tatap muka minggu ini ditiadakan.

Lewat video pelajaran beliau berkata

“Mohon maaf anak-anak, Ibu baru mendapat kabar dari kepala sekolah bahwa besok rabu tidak bertemu disekolah atau tidak ada tatap muka. Sekian terima kasih.” lalu beliau menutupnya dengan cara tak lazim seperti itu. Sekilas tampak pula kekecewaan pada raut wajah Bu Sinta yang tak bisa ditutupi karena nyala kamera videonya.

Sebagian temanku juga ada yang merasa kecewa atau sebenarnya mayoritas, adapula yang hanya bersikap biasa saja. Dalam video pembelajaran itu memang wajah kami mewakili absen, tapi disitu terlihat jelas rasa yang kami terima setelah pemberitahuan tersebut. Aku sendiri benar-benar sudah kehilangan rasa dalam menuntut ilmu, jika terus seperti ini, kalau saja bukan karena Ibu yang terus mendorongku untuk tetap bersekolah maka aku pasti sudah tidak ingin lagi melanjutkannya atau mungkin aku nantinya akan dipondok kan saja ke pesantren lulus nanti.

Aku keluar dari kamar

“Mau kemana kamu Gus?” tanya Ibu yang berdiri di pintu dapur

“Mau kedepan Bu?”

“Sudah kasih makan burung daramu?”

“Sudah.”

Di depan teras Mak Uni sedang duduk dikursi kesayangannya dalam rangka menunggui rumahnya, teduhan pohon mangga yang bersebelahan dengan pohon rambutan menjadikan rumah beliau amat sangat adem terlihat. Sama seperti wajahnya yang terlihat kalem dan teduh.

Aku sapa beliau

“Mak!”

“Oh dek Bagus. Mau kemana?”

“Ngga kemana-mana Mak.”

Lalu beliau menyuruhku untuk mendekat, maka aku turuti sesepuh itu. Dan duduk dibawah kursi yang beliau sedang duduki. Aku tak enak hati duduk sejajar dengan Mak Uni, beliau mulai memberi sedikit nasihat dan wejangan padaku. Sebenarnya aku memang masih terlalu malu untuk dapat berbicara padanya, karena perbedaan umur yang jauh. Aku tak bisa menyeimbangi pembicaraannya. Maka ketika beliau hanya memberi nasihat aku hanya mengangguk-anggukan saja.

“Dek Bagus, sudah mau lulus SD?” tanya beliau

“Iya Mak.” dengan nada lembut kujawab Mak Uni

Lihat selengkapnya