Guruku Yang Hilang Dalam Pandemi

ajitio puspo utomo
Chapter #10

Bagian Sepuluh: Nyaris

Kesabaran menumbuhkan keikhlasan dan pengharapan membuat kita hidup hingga hari esok, entah itu pahit atau manis yang datang.

Ibu memang sering membaca buku dan entah buku itu buku apa. Aku tak pernah bertanya dan tak pernah tertarik pada buku yang Ibu bacai. Rak buku dirumah sudah ada dua dan itu besar-besar seperti lemari kamarku. Katanya, dia sangat suka sekali buku bacaan puisi, dari karya penyair indonesia seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Muhammad dan lainnya. Juga dari luar negeri layaknya Jhon Keats, Shakespeare, Kahlil Gibran juga sebangsa luar lainnya.

Tapi sebagai anaknya, minat bacaku saat ini belum tumbuh dan Ibu sendiri belum mendorongku secara penuh agar mau membaca. Pernah sesekali Ibu menyuruhku, tapi itu hanya sesekali itupun sebatas agar aku diminta untuk menemani Ibu sehabis berbelanja lalu langsung mampir ke toko buku. Dia bilang “Belilah dan baca buku apa saja, mumpung kita masih di toko buku ini”. hanya sebatas seperti itu. Dan kuambil buku bergambar tentang jenis-jenis burung, itupun setelah datang dirumah tak kubacai hanya sebatas melihat nama dan gambar-gambar dari burung tersebut saja. Aku yang belum bisa menjadi maniak baca seperti Ibu. Ah, tak apalah.

*****

Sudah dua hari semenjak lepasnya salah satu jodohan burung daraku ini, dan mereka masih belum kembali. Hatiku lama kelamaan sudah mulai bisa menerima kepergian mereka yang entah kemana. Yandi dan Tofa sudah mengetahuinya, aku memberitahukan kepada mereka dan jawab mereka hanya, “Malang sekali nasib kamu Gus, itu burung dara yang mempunyai kelas juara”. Tapi sudahlah, aku sudah belajar sabar dan ikhlas akan kehilangan mereka. Sekarang tujuanku hanya mengembangbiakkan salah satu jodohan lagi yang ada pada besek ini. Hanya tinggal tersisa mereka. Dan aku tak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan ini. Jika bertelur nanti akan ku kembangkan menjadi puluhan jodoh.

Dibelakang pekarangan tanpa kusadari Yandi sudah berdiri dibelakangku, dengan membawa sebuah pil obat percepatan jodohan bagi burung dara. Setiap orang yang beternak burung dara pasti tau obat ini, obat ini adalah cara ampuh untuk mempercepat pejantan dan betinya lebih birahi, sehingga mereka bisa langsung keket (berjodoh). Obat giringan jika didaerahku disebutkan. Tapi tentu obat ini mepunyai efek yang tidak main-main, biasanya sang jantan jika sudah dijejali obat seperti ini gerak-geriknya seperti burung yang sedang pusing. Lari kesana kemari, dengan meninggalkan betinanya. Tak jarang pula sang jantan akan cepat loyo. Di ibaratkan obat ini seperti minuman tuak yang sekejap dapat menambah imun tubuh menjadi hangat dengan tanggungan resiko yang besar yaitu hilang kendali atau mabuk.

Yandi mendekat perlahan, tanpa dia sadari dia menginjak daun mangga kering sontak aku kaget

“Astaga, kamu mengagetkanku Yan!”

“Hahaha... Maaf Gus.”

“Kamu bawa obat apa itu Yan? Giringan?” tanyaku yang penasaran

“Iya, sisa tiga dan ini untukmu Gus.”

Walau aku tak pernah setuju jika burung daraku harus diobat seperti ini, tapi setidaknya kusimpan saja obat ini. Jika kutolak tak enak hati aku dengan Yandi.

“Terima kasih Yan.”

“Jodohan yang lepas masih belum kembali Gus?”

“Belum. Aku sudah tak berharap lagi mereka akan kembali Yan.”

Kulihat wajahnya setengah tertawa

“Kenapa kamu tertawa?” tanyaku

“Ngga, ngga ada apa-apa.”

Gelagatnya mengejekku

“Dasar sialan kamu Yan!”

Dan senyumnya semakin melebar. Pecah. Ejekan yang dilempar oleh Yandi lewat tawanya. Dengan kalimat yang sok bijak Yandi menasihatiku.

“Sudah Gus, kamu tinggal menelurkan saja jodohan yang ada pada besek ini, dan kembangbiakkan. Syukur-syukur anakannya nanti semuanya berkelas juara. Jika jantan mempunyai sayap yang bagus dan jika betina bisa menjadi bibit yang bagus juga.”

“Memang itu yang kuincar!”

Dasar sialan. Aku memang ceroboh tak menutup rapat pintu kandang, tapi tak cukupkah ejekan ini terus berulang-ulang. Aku mulai kesal.

Lalu Yandi bertanya tentang tugas-tugas pelajaran sekolah. Ah, untuk mengikuti pelajaran online saja aku tak pernah mengikutinya sudah seminggu ini. Bisa dikatakan aku sudah bolos dan mangkir dari kelas yang diajar Bu Sinta. Aku sudah tak ada rasa untuk belajar lagi.

“Tidak, sudah satu minggu ini aku tak masuk kelas online Bu Sinta.”

Lihat selengkapnya