Bagian Duabelas
Penularan
“Sebab kasus dari desa sebelah kemarin tersebar karena klaster dari desa kita ini, dan dari keluarga itu”
“Iya, akupun tahu dan terlebih lagi berita ini tak diberitahukan sebelumnya”
“Bagaimana bisa? Rt setempat sudah menghimbau untuk dirumah saja” kata lawan bicaranya dengan bisikan yang semakin mengeras, dan tak sengaja terdengar olehku.
“Rt hanya menghimbau, bukan memberitahu sepenuhnya” tambahnya “Desa kita ini sedang berada dalam zona kuning, tapi jika ada tambahan kasus lagi maka akan menjadi zona merah”
Bisikan itu menjadi pembicaraan nyata didepanku
“Astagfirullah, jika begitu protokol ketat harus cepat-cepat diterapkan dan kita mungkin akan jarang berada diluar pada desa kita”
“Iya, mungkin”
Aku tak sempat menimbrung pembicaraan mereka, karena pada waktu itu aku baru saja tiba di depan warung madura hendak membeli sabun dan sampo untuk Ibu mandi. Aku tak ingin mencari tahu percakapan yang tidak sepatutnya aku dengarkan. Walau sempat tak sengaja sedikit aku mendengarnya. Agaknya menurutku yang mereka bicarakan adalah Keluarga Ratih dan Pak Sanusi yang baru-baru ini terserang virus covid ini, namun sekilas pula singgungan mereka menuju Pak Rt yang bagi mereka tak transparan, mungkin saja Pak Rt melindungi warganya. Tapi ya, seperti itu ada pro dan kontra bagi warga lain dengan keputusan Pak Rt yang tak memberitahu secara transparan.
Di depan warung
“Bu, permisi.”
“Iya de? Mau beli apa?” jawabnya sambil terbatuk-batuk
“Sabun mandi dan sampo masing-masing satu.”
Ibu itu mengambil sabun dan sampo yang sering kubeli sebelumnya, dia hafal jika aku yang membelinya. Saat itu, kulihat dia seperti sakit terkadang batuk dan terkadang bersin.
“Ini de.”