“Kamu tahu? Cinta bisa membuka sebuah cerita yang tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya.”
Shafira Alania Tjiptadi. Itulah namaku. Temanteman biasa memanggilku Ira. Mendengarkan musik pada malam hari, menyaksikan drama Korea jika ada kuota, membantu Mama membuat kue pada akhir pekan, dan stalking beberapa artis internasional di Instagram adalah kebiasaanku.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Di antara kami bertiga, akulah yang paling cantik di rumah. Sungguh, maksudku, aku satu-satunya anak perempuan di keluarga Tjiptadi. Namun, menjadi satusatunya anak perempuan tidak lantas membuatku spesial. Sebaliknya, aku merasa terasingkan karena tidak bisa bertukar pikiran tentang urusan kewanitaan dengan saudaraku.
Shazam Arthur Tjiptadi, kakakku kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Sastra Inggris semester akhir. Dan, Shadam Arthit Tjiptadi, adikku masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5. Tidak banyak yang ingin kukatakan tentang mereka. Keduanya sangat menyebalkan bagiku. Tidak jarang, mereka bersatu hanya untuk merisakku saat Papa dan Mama tidak ada di rumah.
Papaku, Danis Aqso Tjiptadi adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Sudah tiga tahun beliau dimutasi oleh pemerintah dan menetap di sana. Sebelumnya, Papa bertugas di salah satu rumah sakit besar di Bandung. Hal itu membuat aku hanya tinggal bersama Mama, Nina Anisa, dan kedua saudaraku.
Aku sempat bertanya kepada Mama, mengapa kami tidak ikut Papa ke Jakarta. Mama hanya menjawab bahwa Bandung adalah rumah kami. Meskipun begitu, Papa rutin pulang ke Bandung. Biasanya, tiga minggu sekali. Tidak jarang, dua minggu sekali. Tergantung bagaimana pekerjaannya di sana. Aku juga merasa tidak jauh dari Papa karena beliau sering menelepon, sekadar menanyakan keadaan kami di rumah.
Pagi ini, aku terpaksa pergi ke sekolah menaiki angkutan umum. Biasanya, Shazam mengantarku ke sekolah dengan motor kesayangannya. Namun, kemarin sore, motor miliknya mendadak rusak. Alhasil, dia tidak bisa mengantarku karena harus pergi ke bengkel untuk memperbaikinya.
Aku bisa meminta bantuan Mama untuk mengantarku dengan mobil yang Papa tinggalkan untuk kami. Namun, seperti biasa, Mama pergi mengantar Shadam ke sekolah. Kalau kalian bertanya mengapa aku tidak ikut saja dengan Mama dan Shadam, jawabannya sangat sederhana. Sekolahku dan Shadam berlawanan arah, salah satu dari kami akan terlambat jika Mama mengantar kami berdua. Dan, karena adikku masih Sekolah Dasar, akulah sebagai kakak yang harus mengalah. Tidak mungkin aku menyuruh adikku untuk pergi menaiki kendaraan umum.
Pagi yang cukup mendung. Semalam, Bandung diguyur hujan deras hingga subuh. Matahari pun masih enggan menunjukkan sinarnya, meskipun awan sudah memberi kesempatan dengan bergeser ke utara. Bersamaan dengan kabut tipis yang turun, aku menyusuri pepohonan yang berdiri kokoh sepanjang jalan, sambil mengusap kedua telapak tangan.
Kepulan uap yang meluncur saat kuembuskan napas menjadi bukti bahwa pagi ini Bandung sangat dingin. Bahkan, hoodie hitam tebal yang kukenakan belum cukup menghalau udara pagi yang berusaha menembus pori-pori kulitku. Aku sempat menggerutu dalam hati, Kenapa, sih, hujannya enggak sore aja?
“Ira!”
Kuhentikan langkah saat panggilan itu menerobos pendengaranku. Dari balik kabut, aku menerawang. Samar-samar, kulihat seorang cewek berambut panjang tengah melambaikan tangannya kepadaku. Aku tersenyum dan melangkah cepat menghampiri. Aku tahu persis siapa pemilik suara cempreng itu.
Sisy namanya. Dia teman baikku sejak kami duduk di bangku Sekolah Dasar. Dia gadis yang humble dan hiperaktif. Apalagi, urusan cowok, agak centil dan bawel. Meskipun begitu, perilakunya sangat setara dengan kecantikan yang dia miliki. Sisy pusat perhatian kaum adam sejak masih berseragam putihmerah.
“Pagi, Semuanya!” sapaku dengan senyum manis. Ternyata, Sisy tidak sendirian. Kedatangannya diiringi oleh dua sahabatku yang lain, Dea dan Cilla.
Cewek yang mengucir rambutnya seperti ekor kuda itu namanya Dea. Sementara, cewek berambut pendek di sebelahnya adalah Cilla. Kami semua bertemu saat mengikuti MOS tahun lalu.
“Ira, kangen!” Seperti biasa, Sisy selalu mencuri start. Tanpa canggung, dia mengalungkan kedua lengannya di leherku dan memelukku dengan erat. Aku nyaris tidak bisa bernapas kalau saja Dea tidak buru-buru menarik Sisy dariku.
“Sisy! Kamu téh apa-apaan? Lihat, tuh, si Ira sesak napas!” sembur Dea.
Sisy mengibas ikatan rambutnya ke belakang dengan centil. “Ngapain, sih, ikut-ikutan aja? Orang lagi kangen-kangenan juga!”
Aku dan Cilla hanya bisa bertukar senyum karena jika sudah bertemu, seperti itulah Dea dan Sisy. Hal sepele bisa mereka debatkan. Mungkin, kalian juga paham saat memiliki sahabat yang sifatnya tidak beda jauh dengan mereka berdua. Namun, di situlah letak persahabatan. Perbedaan yang menjadikannya terasa hidup. Aku sangat bersyukur bisa mengenal mereka. Mereka sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul karena aku tidak suka dengan orang yang suka basa-basi. Bagiku, memiliki sedikit sahabat setia lebih baik daripada memiliki banyak teman, tetapi palsu.
Saat kami sedang melepas rindu setelah dua minggu tidak bertemu, tiba-tiba seseorang memanggil Sisy dari gerbang sekolah. Sisy dan Dea menghentikan debat, sedangkan aku dan Cilla menoleh ke sumber suara. Seorang cowok berambut ikal berlari tergesagesa menghampiri kami. Setelah melihat wajahnya, aku tahu cowok itu. Dia Mahesa, ketua tim basket yang diberi julukan “cowok kece” oleh cewek seantero sekolah.
Mahesa mendekati Sisy, sedangkan Dea melangkah mundur untuk memberi ruang kepada mereka berdua. Aku bertukar pandang dengan Dea dan Cilla, lalu kuamati baik-baik apa yang mereka bicarakan dari tempatku berdiri.
“Ada apa?” tanya Sisy, menatap penuh selidik wajah Mahesa.
“Sebentar!” Mahesa mengangkat telapak tangan. Kulihat dadanya kembang kempis bersamaan dengan uap tipis yang keluar dari bibir tipisnya. “Huh, capek. Pengap, ieu.”
“Ih, cepetan, deh! Ada apa, sih?” Sisy terdengar kesal.
“Oke .... Jadi gini, Sy, aku mau kasih tahu kamu kalau ada temen aku yang mau ketemu sama kamu pulang sekolah nanti.”
“Siapa?”
“Ada .... Dia temen baik aku. Nanti juga kamu tahu.” Mahesa tersenyum. “Pokoknya, nanti pas pulang sekolah, kamu datang aja ke parkiran motor, ya!”
“Parkiran? Tapi ....”
“Pokoknya, datang aja. Aku sama dia bakalan nunggu sampai kamu datang.”
“Tapi, Sa ....”
“Udah, gitu aja, ya? Aku mau ke dalam lagi. Belum sarapan, nih!” Mahesa menatapku, lalu Dea, dan terakhir Cilla. Kulihat Mahesa mengedipkan sebelah matanya kepada Cilla hingga pipi Cilla seketika merona.
Mahesa langsung pergi meninggalkan kami. Sisy hendak mengejar, tetapi langkah panjang Mahesa begitu cepat. Sisy menggeram kesal dan aku paham sekali apa yang dia rasakan.
“Apaan, sih, dia?” gerutunya, lalu menoleh ke arah kami dengan dahi mengerut. “Ngapain coba aku ke parkiran buat ketemu temen dia?”
Aku, Dea, dan Cilla mengangkat bahu tak tahu.
“Mungkin ..., ada yang suka kamu, Sy?” Aku menebak.
“Suka aku?”
Aku mengangguk dan setelahnya Sisy diam. Aku rasa, dia sedang memikirkan perkataanku kembali. Maksudku, mungkin dia mencoba menebak siapa saja teman dekat Mahesa yang ada di sekolah. Sisy, kan, tahu banyak tentang sekolah ini dibandingkan siapa pun. Dia juga mengenal adik kelas dan kakak kelas kami dengan baik.
“Tapi, siapa?” ucap Sisy setelah beberapa saat diam. “Temen Mahesa, kan, banyak.”
Lagi-lagi, aku hanya mengangkat kedua bahu.
“Daripada bingung, mending kamu datang aja ke parkiran motor pulang sekolah nanti!” usul Dea. “Biar jelas juga siapa yang suka sama kamu.”
“Enggak, ah, takut!” balas Sisy bergidik. “Lagi pula, pulang sekolah nanti Mama mau ajak aku belanja ke TSM.”
“Terus, temennya Mahesa gimana?” sahut Cilla.
“Kasihan, lho, kalau sampai dia nunggu kamu.”
“Ya, itu bukan urusan aku,” jawab Sisy.
“Tapi kalau kamu hindari, besok lusa pasti dia minta kamu ke parkiran lagi, Sy. Kamu mau setiap hari disamperin Mahesa kayak gini?” tanyaku.
Sisy diam sejenak. Kulihat ekspresi wajahnya seketika berubah. Sambil mengembuskan napas, dia bertanya. “Terus, gimana atuh?”
Lagi-lagi, keadaan menghening. Kami mulai sibuk mencari solusi. Untungnya, udara mulai terasa sedikit hangat oleh matahari yang memberikan sedikit cahayanya, memeluk jaket tebal yang kami pakai.
Aku memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie. Ini bukan kali pertama aku melihat Sisy dihampiri cowok. Sebut saja Ilham, Ghani, Agam, Asep, Fikri, Rangga, dan Syaiful. Bahkan, aku bisa mengingat nama mereka semua dengan tepat. Ya Tuhan ....
Pernah saat awal-awal kami bersekolah, Sisy dihampiri oleh segerombolan kakak kelas yang kini sudah menjadi alumni. Beberapa dari mereka menggoda Sisy dan satu di antaranya mendekati Sisy dengan sebatang cokelat. Aku tidak bermaksud menghina, tapi cowok itu sedikit aneh. Sisy langsung ilfeel. Bahkan, aku juga ikutan ilfeel saat melihatnya.
“Dea, kamu gantiin aku, lah!” pinta Sisy.
“Ogah!”
“Atulah! Mohon.”
“Enggak, ah! Aku ada latihan taekwondo pulang sekolah.”
Sisy langsung mengerucutkan bibir. Lagi-lagi, aku dan Cilla bertukar pandang. Kemudian, Sisy menghampiri Cilla dan meraih salah satu tangannya sambil tersenyum manis. “Cilla mau gantiin aku?”
“Eh, aku?” Wajah Cilla kembali merona. “A-ku ....”
“Ngaco aja kamu! Cilla, kan, orangnya gugupan!” serobot Dea, melepaskan tangan Sisy dari Cilla.
Sisy berdecak sebal. “Terus, siapa, dong? Aku enggak mau ketemu dia dan aku udah telanjur janji sama Mama tadi pagi.”
Awalnya, aku mau membantu mencari jalan keluar. Mencari cara agar Sisy bisa menghindar, tanpa perlu membuat teman Mahesa menunggu. Namun, tatapan mata yang kuterima dari Sisy saat ini membuatku curiga. Perasaanku tidak enak, firasatku mengatakan ini hal yang buruk. Tanpa harus memiliki ilmu meramal pun sepertinya aku sudah paham dengan maksud tatapan itu.
“Apa?”
****
Terkadang aku heran, bagaimana bisa cuaca berubah hanya dalam hitungan menit? Barusan Bandung diguyur hujan, kini Bandung disinari matahari yang begitu terik dan menyengat. Panas.
Panasnya matahari tidak kalah dengan panasnya hatiku karena kalah debat dari Sisy. Ya, pada akhirnya aku menggantikannya. Dia memohon kepadaku agar aku mau menggantikannya bertemu dengan temannya Mahesa. Tentu saja pada awalnya aku menolak, tapi telepon dari mama Sisy ketika bel pulang berbunyi menghancurkan pendirianku.
Dea latihan taekwondo, sementara Cilla sudah dijemput oleh sopir keluarganya. Tidak ada yang menemaniku menghampiri Mahesa selain tas yang bertengger di punggungku saat ini. Sendirian aku menyusuri lorong sekolah. Membalut sebelah tanganku dengan hoodie, melewati kerumunan murid, berusaha menghindari orang-orang yang berjalan melintasiku dari lawan arah. Jika saja Sisy bukan sahabatku, aku tidak akan mau melakukannya.
Tanpa kusadari, langkah kakiku membawaku ke parkiran motor sekolah. Di sana tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa motor milik staf dan guru. Namun, lain hal jika aku menelusuri lebih dalam parkiran motor itu. Biasanya, banyak anak yang menongkrong di lorong samping sekolah yang terhubung dengan kantin.
Dengan setelan jaket bomber, Mahesa terlihat sedang berbicara dengan temannya yang duduk di atas sebuah Vespa klasik. Sebelum benar-benar menghampiri keduanya, kupandang baik-baik mereka dari tempatku berdiri. Sedetik, terlintas dalam benakku untuk memutar tubuh dan pergi, tetapi aku bisa apa? Sisy sudah memohon dan aku tidak bisa membiarkan kedua cowok itu menunggu sampai sore.
Kumantapkan diri seraya mengembuskan napas berat.
“Mahesa!”
Pemilik nama menoleh, tetapi tidak temannya. Aku menghampiri Mahesa dengan wajah yang sebisa mungkin tidak kubuat kusut—agar terlihat lebih ramah. Kulihat Mahesa kebingungan, seperti sedang mencari sosok lain.
“Lho, kamu yang datang, Ra?” tanya Mahesa, matanya kembali menjelajah. “Sisy mana?”
“Sisy pulang,” jawabku. “Dia minta aku ke sini buat ngabarin dia enggak bisa ketemu.”