"Gue mau bicara sama lo,” Mahanta menarik tangan Ane, dan menutup kembali pintu mobil itu.
Dengan malas Ane memutar kepalanya menghadap lawan bicaranya. Mendongakkan kepalanya, menatap sinis ke arah Mahanta.
“Gue males debat sama lo.” Ane kembali membuka pintu mobilnya, Mahanta pun kembali menarik tangan Ane dan menutup pintu mobilnya kembali. Bahkan ia merebut kunci mobil Ane secara paksa dan memencet tombol unlocking pada smart key yang ia rebut dari tangan Ane. Dan membuat Ane mau tak mau harus mendengarkan ucapannya.
“Gue gak biarin lo pergi," ucapnya dengan suara lirih "Sampek lo dengerin semua omongan gue,” sambungnya sembari menatap tajam ke arah Ane.
Ane meneguk salivanya dengan perlahan, mendapat tatapan dari kedua mata elang seorang Mahanta seolah melemahkannya.
“Gue minta maaf, dan terimakasih." Ucap Mahanta sembari melepaskan cengkeramannya dari lengan Ane. "Gue akan tepatin janji gue masalah komisi yang gue janjiin, lo tinggal tulis disini berapapun yang lo mau,” Mahanta memberikan satu lembar cek kosong pada Ane.
Entah apa yang ada di dalam fikiran Mahanta, beberapa jam lalu ia memaki-maki Ane, dan saat ini ia minta maaf dan mengucapkan terimakasih.
“Gue nggak perlu, kalo lo menang tepatin janji lo mengenai donasi Panti Asuhan Kasih.” Ane kembali merebut smart key pada tangan Mahanta dan membuka pintu mobilnya kembali.
Ia mulai melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu, meninggalkan Mahanta dengan tatapan hampa.
Belum ada wanita yang memperlakukannya seburuk itu.
***
Dendra menatap kain putih yang tergeletak begitu saja di kursi ruang ganti. 'Jubah mandi?' gumannya dalam hati.
“Kenapa? Jubah mandi.” Sahut Andhisty seolah dapat mendengar perkataan Dendra dalam hati.
“Punya Ane?” tebak Dendra. Karena saat ia membuka sosial medianya penuh dengan berita mengenai seorang model yang keluar dengan jubah mandi.
Andhisty menganggukkan kepalanya, membenarkan perkataan Dendra. “Mungkin dia lupa, nanti gue balikin kalau gitu," Andhisty mengambil kain putih itu, namun tangan Dendra dengan sigap juga menarik jubah mandi itu.
“Lo kenal deket sama dia?”
“Kalau punya nomor ponsel juga tahu alamatnya itu tergolong kategori kenal deket nggak?” bukannya menjawab, Andhisty balik bertanya.
Dendra membelalakkan kedua matanya, senyum tergambar jelas di wajah tampannya. Seolah ia sedang mendengar berita yang sangat menggembirakan.
“Lo punya nomor Hpnya?” ulang Dendra seolah tak percaya. Dan Andhisty menganggukkan kepalanya lagi.
“Boleh gue minta? Nanti gue kasih nomor Fahraz sebagai gantinya,”
“Gimana? Deal?” sambung Dendra dengar gencar tanpa henti. Yang seketika merubuhkan kekukuhan prinsip Andhisty untuk memberikan nomor Ane tanpa persetujuan dari Ane.
Andhisty mengambil ponsel yang ada di dalam saku celananya, ia tergiur dengan tawaran Dendra. Ia sudah lama menyukai Fahraz.
“Gue udah send ke watsApp lo, cek aja.” Andhisty memasukkan ponselnya kembali.
“Gue juga. Kerjasama yang menguntungkan.”
Dendra kembali mengambil jubah mandi itu, senyuman tak pernah sirna dari wajahnya, ia seperti menemukan jalan menuju kesuksesan.
***
Ane memarkirkan mobilnya di sebuah restoran bakmi yang selalu menjadi langganannya.
Ia mengambil jacket cardigan, masker wajah juga kacamata warna hitam, tak lupa tas Make-Up nya. Ia mencoba untuk menyamar, ia yakin tragedi jubah mandi tak akan membiarkan ia merasakan hari-hari tenang saat ini.