Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #9

Paradista Is Back

"Atau jangan-jangan lo saat ini___" Asoka menggantungkan ucapannya, cangkir kopi yang ada ditangan kanannya bergetar hebat hingga sebagian isinya mengotori karpet impor merah di bawahnya.

"Lo itu homo? Atau jangan-jangan lo selama ini__suka sama gue?"

"Bro! Gue baik sama lo bukan berarti lo bisa seenaknya sama gue,"

"Gue akuin lo itu tampan banget, lo adalah laki-laki paling tampan yang pernah gue temui. Tapi gue masih waras, gue masih suka sama Gina, walaupun udah berkali-kali gue ditolak gue nggak akan menyerah. Dan gue nggak pernah punya perasaan sama lo."

"Gue nggak jeruk makan jeruk!"

Asoka tak henti-henti berkomat-kamit, mulutnya terus saja mengoceh hingga membuat Puan jengah.

Dan saat ini Puan sedang memikirkan bagaimana caranya ia dapat membuat temannya itu berhenti mengoceh.

"So, lo yakin lo nggak pernah punya perasaan sama gue?"

Asoka memutar kepalanya kearah Puan yang saat ini sedang menatapnya. Mesra.

"Gu__gue_ gue,, nggak suka sama lo!" 

Asoka segera berdiri dari duduknya, ia memutar pandangannya ke arah depan.

"Yakin?"

Puan menarik tangannya hingga Asoka jatuh tepat di sampingnya, jarak mereka sangatlah dekat. Sepertinya Puan sedang menjalankan misinya.

"Lo,, gilak ya."

"Jangan hubungi gue lagi," 

Asoka berdiri dari duduknya dan berjalan setengah berlari menuju pintu keluar ruang CEO itu.

"Bisa-bisanya dia berbuat kayak gitu, dia kira gue laki-laki apaan, walaupun Gina nolak gue tapi masih banyak cewek diluar sana yang mau sama gue,"

"Ha,!dia kira gue udah nggak waras." 

Asoka terus-menerus mengoceh tanpa jeda.

Saat melihatnya sudah keluar dari ruangannya, Puan menyunggingkan senyumannya. Kemenangan ada dipihaknya.

Menit berikutnya seseorang kembali membuka pintu ruangannya, kembali.

"Permisi Pak, di ruang tunggu ada Nyonya Mada."

"Bilang kalo saya sedang ada__"

Clekkkkkk

Belum selesai Puan berbicara tiba-tiba pintu ruangannya terbuka kembali, sosok yang sangat ingin ia hindari secara tiba-tiba sudah ada di depan matanya.

"Bu Sonya anda bisa kembali ke tempat,"

"Baik pak," Bu Sonya membalikkan badannya dan menoleh ke arah wanita paruh baya yang ada disampingnya, ia menundukkan badannya tanda memberi hormat.

Sonya, wanita berusia 30 tahun itu menjabat sebagai sekertaris sekaligus pengganti pimpinan perusahaan disaat Puan sibuk dengan sekolahnya. 

Puan percayakan penuh perusahaannya pada wanita berusia 30 tahun itu, walaupun masih dalam pengawasannya.

"Puan, kamu ya tega sekali sama mamah kamu, mamah telpon berkali-kali tapi tidak satupun panggilan mamah yang kamu angkat."

"Kamu masih anggap mamah ini mamah kamu enggak sih." 

Bu Mada terus-menerus mengoceh tanpa jeda.

Puan bangkit dari sofa dan berjalan ke arah kulkas, mengambil 2 minuman kaleng untuknya juga mamahnya.

Puan memposisikan diri duduk di sofa depan mamahnya "Minum dulu mah," 

Puan mencoba bersikap sabar dengan sifat mamahnya.

"Kamu kenapa nggak pernah angkat telpon dari mamah."

"Ya mamah tau sendiri kan, aku sibuk akhir akhir ini, kerjaan, jadi aku nggak ada waktu buat main-main,"

"Main-main gimana maksut kamu? Memang mamah pernah ngajak kamu main?"

"Kamu kenapa harus keras kepala?"

Puan membuka kaleng minuman itu, meneguk hingga tandas isi kaleng itu, ia menghela nafas panjang sesaat.

"Aku nggak mau nikah muda," ucapnya sembari pandangannya menyorot teduh ke arah Bu Mada.

Ia sangat hafal, apa yang akan mamahnya bicarakan hingga harus repot-repot menemuinya di jam kantor seperti ini.

Sekilas, Bu Mada seolah sangat tak tega jika terus-menerus menekan Puan untuk segera membawa calon menantunya. Namun, apa daya? Ini sudah tradisi keluarga, Puan tetap harus menikah di saat usianya menginjak 18.

Sorotan mata Puan seolah menjelaskan semuanya. Sakit hati karena seorang wanita, jelas tergambar di sana, dan Bu Mada mengetahui semuanya.

Lihat selengkapnya