Puan menggebrak meja yang ada di depannya. Ane memejamkan kedua matanya karena kaget, ia bahkan meremas ujung daster untuk menstabilkan detak jantungnya. Jujur, ia sangat ketakutan saat ini.
Puan memutar kepalanya, Ane menundukkan kepalanya dalam-dalam saat Puan menatap tajam ke arahnya,
“Ini semua gara-gara lo! Pergi dari tempat gue sekarang!”
Puan semakin meninggikan suaranya, membuat kaki Ane seakan lemah tak bertulang hingga rasanya tak bisa berjalan.
Ane kembali ke kamar tamu untuk mengambil pakaian, tas dan ponselnya.
‘Dimana semua barang gue?' lama tak menemukan tas juga bajunya ia memutuskan untuk bertanya pada Puan, namun langkahnya terhenti saat mendengar pecahan kaca, berkali-kali.
Nyalinya menciut tak kala melihat Puan memecahkan televisi dengan tongkat bisbol nya.
Seperti ada perang dunia ketiga disini.
Kedua mata Ane membulat, bibirnya bergetar ketakutan, kedua tangannya dikepalkan dengan kuat, kakinya yang seolah kaku dan sulit ia paksa untuk dapat melangkah ‘Gue nggak yakin gue bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.’ , ia mengurungkan niatnya bertanya pada Puan. Pria itu seakan bersiap memakannya.
Crengg crengg crengg
Ane menutup kupingnya, ia berjalan merayap menuju pintu keluar apartemen ini.
Clekk
Ia membuka pintu dan menutupnya secara langsung. Ia berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat yang menurutnya itu neraka.
Ane tak mengindahkan pandangan orang yang membuatnya sedikit emosional.
‘Nggak pernah liat orang cantik ni orang,’
Dan sampailah ia dilantai bawah, ia mulai berjalan ke arah pintu keluar sambil terus memikirkan bagaimana cara agar ia bisa kembali ke apartemennya. Karena ia tak membawa dompet ataupun ponsel. Sedangkan ia tak mempunyai orang yang ia kenal yang tinggal di apartemen ini selain pria itu tadi.
Ane merinding tak kala mengingat kelakuan mengerikan pria itu. Marahnya pria itu semenakutkan bagi Ane. Ane belum pernah melihat orang semarah itu.
Ane duduk di kursi taman yang ada di halaman apartemen ini, ia meluruskan dan memijat perlahan kakinya yang mulai lelah digunakan untuk terus-menerus berjalan.
Ane mendongakkan kepalanya saat bahunya di tepuk lumayan keras.
"Ane?”
Pucuk di cinta ulam pun tiba.
Matanya berbinar tak kala melihat Seka sudah ada di depannya, ia mengganti raut wajahnya yang seolah siap memaki orang yang dengan berani mengagetkannya seperti itu, Ane membulatkan matanya sempurna.
Ia menyunggingkan senyuman termanis miliknya.
“Gue nggak mimpikan?” Ane berdiri dan meraba-raba wajah temannya itu.
“Gue beneran nggak mimpi,,, Ka gue rindu lo,” Ane memeluk tubuh sahabatnya hingga membuat Seka hampir jatuh kebelakang.
“Ane lo apaan sih, kenapa lo bisa ada di sini? Dan pakaian lo? Lo mau jadi viral lagi?” Ane melepaskan pelukannya, menjaga jarak dengan Seka dan kembali mendudukkan diri di kursi taman itu kembali.
Sedangkan Seka, ia masih mengamati setiap inci baju yang di gunakan temannya itu. Seakan tak percaya dengan penampilan sahabatnya itu, rambut berantakan setengah basah, baju tidur model daster yang warna kainnya mulai memudar.
Ane menundukkan kepalanya, menatap daster yang saat ini ia kenakan, ia tertawa sendu “Kenapa? Gini-gini masih banyak yang ngelirik gue waktu gue lift tadi,” Ane berbicara dengan PD nya, tangannya menyisir rambut kumalnya.
"Lo ada cepet nggak sih, gerah gue,” sambungnya tanpa dosa mendongakkan kepalanya menatap Seka yang masih berdiri dengan tatapan penuh tanya di depannya.
“Mereka ngelirik lo karena ngira lo orang kesasar,”
“Orang kesasar?” dahi Ane berkerut, tidak tahu apa yang sebenarnya temannya itu sampaikan.
“Ini apartemen kalangan atas, Cuma orang konglomerat yang bisa tinggal disini Ne, kemarin lo kan minta tolong gue buat cariin apartemen baru yang fasilitasnya lebih baik dari yang dulu, gue berencana__"
“Jangan bilang ini apartemen yang lo maksut?” Ane menyipitkan mata sebelahnya, tangannya mulai menutup mulutnya sendiri seolah mendengar berita buruk.
“Gue nggak mau,” sambungnya sembari menyilang kedua tangannya di depan dadanya.
“Lo bilang nggak mau lagi setelah gue nyari muter Jakarta, lo udah nolak gue 12 kali Ne.”
“Gue tau lo itu sangat pandai dalam hal tolak menolak, tapi bukan berarti lo bisa bertindak seenak gini sama gue. Kurang bagusnya apa coba apartemen ini? Keamanannya terjamin, fasilitasnya kelas atas, gue jamin nggak akan ada wartawan yang berani masuk di wilayah apartemen lo kali ini, kalo lo tolak ini berarti lo sama aja mecat gue buat jadi___"
“Gue terima,” Potong Ane cepat sebelum Seka mengatakan hal yang tak mau ia dengar.
“Gue nggak maksa lo buat nerima, kalo lo nggak suka nggak papa gue__"