Puan menatap sendu gadis cantik yang ada di depannya, "Kenapa nggak dimakan? Makanannya nggak enak? Apa kita pindah restoran aja, gimana?” Paradista tak menyentuh makanan yang ada didepannya sama sekali, nafsu makannya hilang seketika.
“Nggak tahu,” Lirih Paradista sambil memutar pandangannya ke arah pria yang ada di depannya. “nggak pengen makan tiba-tiba,” sambungnya sambil menatap sendu ke arah beberapa menu masakan yang ada di depannya.
Puan mengerutkan dahinya, ia menatap setiap inci wajah gadis cantik yang ada di depannya. Ia cemas saat menangkap wajah Paradista yang sedikit memucat.
Puan melayangkan tangannya kedepan, menempelkan telapak tangannya di dahi Paradista, mengecek apa kekhawatiran yang menaunginya saat ini benar atau tidak.
Puan menghela nafas berat, senyumnya memudar seketika “Muka kamu pucet banget Dis, kamu sakit?” ucapnya lirih. Paradistka memejamkan matanya sejenak, karena tiba-tiba kepalanya pusing.
“Kecapean aja mungkin, tadi ada 3 sesi pemotretan di tempat yang berbeda-beda,” balasnya sembari tangannya meraih tangan Puan yang masih ada di dahinya, menggenggam erat tangan itu.
“Kamu harus kurangin jadwal kamu Dis,” Puan menatap tajam ke arah depan, membuat lawan bicara nyiut nyali seketika “kesehatan yang lebih utama,” tambah Puan.
Paradista menghela nafas panjang, ada perasaan takut pada dirinya, namun ia juga ingin tertawa melihat ekspresi wajah Puan yang sangat lucu jika mencemaskannya itu.
“Nggak usah senyum-senyum.” Ketus Puan saat tak suka Paradista seolah me-nomorduakan kesehatan dan tak menggubris ucapannya. Bisa-bisanya gadis itu tertawa saat Puan berbicara serius dengannya.
“Iya sayang.” Ucap Paradista lirih. “Aku tahu,” sambung gadis itu seolah meruntuhkan kekesalan dalam hati Puan.
Puan memang lemah, ia bisa langsung menghilangkan semua kegundahan hantinya begitu Dista tersenyum ke arahnya, seolah semua itu melemahkannya.
***
Genap satu bulan Paradista menjalani kemoterapi, kanker darah membuatnya menjadi sosok yang lemah.
Paradista menutup novel yang sebelumnya ia baca, ia berdiri dari duduknya dan menghampiri mamahnya yang masih sibuk di meja dapur “Mah, Dista udah nggak kuat, Dista mau berhenti berobat kekebalan tubuh,"
Dista masih mengira kalau pengobatan rutin yang selama ini ia jalani untuk kekebalan tubuh, bukan membunuh sel-sel kangker yang semakin merajalela, karena ia sudah memasuki stadium 3.
Bu Anjani menghela nafas berat, ia seolah tersulut emosi saat mendengar ucapan anaknya yang seolah meminta menyudahi kemoterapi itu. Yang berarti Paradista sudah menyerahkan semuanya pada takdir yang kemungkinan hanya 1 pesen untuknya dapat hidup tanpa menjalani kemoterapi itu.
“Paradista, mamah kan sudah pernah bilang_” Bu Anjani menghentikan ucapannya saat tubuh Paradista terjatuh begitu saja dilantai, ia pingsan. Dan hidungnya kembali mengeluarkan darah.
Bu Anjani segera memanggil Mang Lukman untuk menyiapkan mobil dan segera membawa anak satu-satunya itu ke Rumah Sakit.
Ia menatap sendu ruang rawat, matanya tak henti untuk meneteskan air mata. Diatas pembaringan ranjang sana, tubuh anaknya lemas tak berdaya, matanya semakin pedas melihat kondisi Dista yang semakin menurun.
Ia mulai masuk kedalam saat dokter selesai memeriksa keadaan putrinya, “Nyonya Sifabella? Boleh ikut saya sebentar, ada hal penting yang perlu saya sampaikan.”
Bu Anjani menganggukkan kepalanya, mengikuti langkah Dokter itu dari belakang.
“Begini, bukan maksut saya untuk mendahului takdir Tuhan, tapi melihat kondisi Paradista yang semakin memburuk saya tidak yakin untuk meneruskan kemoterapi Paradista di rumah sakit ini. Sejujurnya, belum ada perkembangan sejauh ini, bahkan sel kangker mulai menyerang kedua matanya,”
Bu Anjani mengingat kejadian tiga hari lalu saat Paradista menangis karena pandangannya tiba-tiba buram.
“Jadi baiknya gimana dok?” lirihnya, bibirnya bergetar tak sanggup hanya untuk bertanya. Fikirannya tentang Paradista membuatnya selemah ini.
“Saya sudah konsultasi dengan teman akrab saya yang ada di USA, beliau juga dokter senior di Rumah sakit itu, sudah banyak pasien kanker yang beliau tangani, dan sebagian besar dapat sembuh.”
“Apa perlu saya bawa Paradista ke USA?”
“Secepatnya lebih baik,” Bu Anjani mengambil kartu nama yang diberikan oleh Dokter Budi itu.
“Ini kartu nama beliau, anda bisa menghubungi nomor yang tertera di sini, semoga Paradista lekas sehat saat kembali dari sana,” tambah Dokter Budi.
“Saya harap juga begitu, terima kasih untuk semua bantuannya Dok,”
***
“Kangker Darah setadium 3?” Suara yang begitu menyayat terdengar saat Bu Anjani membuka pintu ruangan rawat Paradista.
Mata Bu Anjani membulat sempurna, kakinya berhenti melangkah beberapa detik. Ia menghela nafas berat, Paradista sudah mengetahui semuanya.
“Dista kamu,,”
“Kenapa Mamah nggak jujur dari dulu sama Dista, kenapa mamah harus tutup-tutupi semua ini dari Dista.”
Gadis 15 tahun itu terus menangis, hingga kini tangisnya semakin pecah, ia masih tidak percaya kalau sakit yang ia derita selama ini adalah sakit yang sangat mematikan.