Puan terus memajukan langkahnya, namun...
“Maaf kalo temen gue bikin salah sama lo,”
Seka segera menarik tangan Ane menjauh dari Puan.
Puan memutar kepalanya menatap punggung Ane yang semakin menjauh dan mulai menghilang dari pandangannya.
‘Awas aja, urusan lo sama gue belum selesai,’ ancam Puan, pandangannya menajam.
“Kamu nggak papa kan? Mana yang sakit?” Paradista menyeka air pada wajah Puan. Gadis itu mengeluarkan tissue dari Tote-bagnya, mengelap halus air yang masih ada di wajah Puan.
***
“Ka lepas sakit tauk,”
“Seka!!”
Ane menghempaskan tangan Seka begitu saja. Ia menatap sendu pergelangan tangannya yang memerah akibat ulah kasar temannya itu.
Seka memutar tubuhnya, menatap sinis gadis yang ada di depannya. "Lo bisa nggak sih nggak bikin masalah satu hari?”
“Lo punya otak kan? Gue capek temenan sama lo!”
“Mulai hari ini gue mundur sebagai manager Lo!”
Seka seakan meluapkan semua unek-unek yang sudah lama ia pendam. Ia mengatakan begitu saja tanpa memikirkan perasaan Ane seperti sebelumnya.
Seka segera berlalu dari pandangan Ane dan menaiki Taksi. Kebetulan letak restoran ini tak jauh dari pangkalan taksi.
Ane menatap sendu kepergian temannya itu, ingin menghentikan namun ia takut. Ia sangat takut saat Seka mulai berbicara seperti itu dengannya, nyali Ane ciut seketika.
Kedua mata Ane mulai memanas, seperti ada sesuatu yang akan keluar dari sana, perlahan air mata itu jatuh juga.
Ane mengusap air mata itu, ia segera menuju tempat parkir dimana ia memarkirkan mobilnya. Ia memakai kacamata lagi, agar orang yang melihatnya tidak menyadari kalau ia sedang menangis.
Tangisnya pecah begitu saja saat ia berada di dalam mobil, Ane memukul setir mobilnya berkali-kali mencoba meluapkan semua emosinya. Ia tidak tahu harus menjalani hidup seperti apa tanpa sosok sahabatnya itu.
***
Bu Mada duduk santai sambil membaca majalah fashion seperti biasanya. Namun fokusnya hilang seketika saat ia mengingat kejadian di Apartemen anaknya itu.
Ia melirik ke arah Pak Mada yang masih sibuk dengan majalah bisnis yang ada di sampingnya, sesekali meminum teh tubruk hangat favorit mereka.
“Kenapa Mah?” tanya Pak Mada saat ujung matanya menangkap istrinya sedang menatap ke arahnya, seperti ada yang ingin di sampaikan.
“Nggak papa kok Pah,”
Bu Mada mencoba fokus kembali pada majalah fashion yang sedang ia pegang. Namun, rasa ingin memberi tahu tentang kejadian apartemen anaknya membuat fokus Bu Mada berkali-kali hilang. Ia kembali menatap ke arah suaminya.
‘Aku harus beritahu yang sebenarnya, aku tidak mau masalah ini menjadi besar dan merusak citra keluarga ini,’
“Kalau ada yang mau mamah sampaikan, sampaikan aja.” Ucap Pak Mada sembari pandangannya masih fokus dengan majalah bisnis yang ia baca.
“Pah sebenarnya tadi pagi mamah___"
“Kenapa mah?”
Pak Mada memutar kepalanya ke arah istrinya saat Bu Mada tak kunjung menyelesaikan ucapannya.
“Tadi pagi mamah kenapa?”
“Tadi pagi Mamah pergi ke___"
“Hai Ma, hai Pah,” Sita membuat Bu Mada menghentikan ucapannya, lagi.
Sita memeluk Pak Mada juga Bu Mada secara bergantian.
“Papah kira kamu langsung balik ke rumah Ta,” sahut Pak Mada seolah tak percaya, anak perempuannya ada di depannya.
“Rencananya gitu, tapi tiba-tiba Sita kangen sama Papah mamah,” alih-alih rindu, sebenarnya ada hal yang ingin Sita sampaikan pada mamahnya hingga membuat ia memutar arah mobilnya kembali.
"Udah punya suami masih aja manja." Sahut Bu Mada, Sita hanya terkekeh menanggapi nya.
“Oh ya mah, ada sesuatu yang mau Sita jelasin,” Sita menarik tangan Bu Mada menjauh dari Pak Mada, membuat Pak Mada menyipitkan matanya sejenak.
‘Ada yang tidak beres dengan mereka berdua,’ guman Pak Mada dalam hati sambil pandangannya tetap terfokuskan dengan majalah bisnis yang sedari tadi ia pelajari.