“Ini,” Ane mengulurkan kedua tangannya, memberikan paper-bag warna putih itu pada Seka.
Seka membulatkan kedua matanya sempurna, dahinya berkerut, “Nggak usah, gue udah maafin lo, nggak usah pakek acara bawa ginian segala,” balasnya sembari mengulas senyum sebagus mungkin, menolak dengan sopan.
“Nggak papa, udah terlanjur gue beli Ka, ayo ambil,” Ane menarik tangan Seka dengan paksa dan memberikan paper-bag putih itu kembali.
Seka menghela nafas panjang, ini sudah final. Kalau Ane sudah membelikan sesuatu untuknya memang sulit untuk di tolak.
Karena jika Ane ditolak ia akan bersikukuh untuk tetap memberikan barang itu. Dari pada mengulur waktu Seka menerima paper-bag itu. Pamali menolak rezeki.
“Seriusan nih?” tanya Seka saat matanya menangkap barang-barang mewah yang ada di dalam paper-bag itu.
Jaket juga kaos bermerek. Seka tak heran, Ane bisa saja membeli apa saja karena dompetnya yang selalu tebal, di bandingkan dengan Seka yang hanya menjadi managernya.
“Lo jangan berhenti jadi manager gue.” lirih Ane.
”Lo juga jangan bosen temenan sama gue.” sorot mata Ane terlihat redup, senyumnya mengembang namun penuh tanya.
“Jadi ini sogokan?” Ane tertawa ternyata Seka lebih cerdas darinya.
“Enggak kok Ka, tadi emang aku nggak sengaja lihat baju yang cocok buat lo, jadi ya gue ambil.” Dustanya. Seka menyipitkan kedua matanya, seolah tak percaya.
***
“Kenapa lagi? Ada masalah apa?,”
Asoka mencoba mencairkan suasana, namun tak membuat sosok Puan Mada Muda merubah raut wajahnya, raut wajahnya masih datar.
Asoka berdiri dari duduknya, mengambil satu botol Red Wine dan dua gelas minum, juga beberapa balok kecil es batu.
“Biar mood lo baik lagi,”
Asoka memberikan satu gelas penuh Red Wine.
Sebagai teman lama Puan, ia cukup tahu kebiasaan Puan di saat sedang banyak masalah seperti ini.
Benar, menit berikutnya Puan mengambil dan meneguk tandas red wine itu. Ia seolah sedang meminum air mineral.
“Cerita pelan-pelan sama gue,”
Puan melepaskan jas yang masih melekat pada tubuhnya, jas itu basah akibat ulah Ane.
Ia lantas menggulung lengan kemeja putihnya, mengeluarkan satu batang rokok dari saku celananya, mengambil pematik dan membakar ujung rokok itu, perlahan Puan menghisap rokok itu dalam-dalam.
Puan bukanlah seorang pecandu rokok, namun disaat pikirannya sedang kalut rokok menjadi salah satu pelariannya.
“Nyokap gue,”
Puan merebahkan badannya pada sofa empuk yang ada di belakangnya, ia memejamkan matanya untuk mengingat kata-kata Mamahnya waktu di telpon 30 menit lalu.
“Kenapa nyokap Lo?”
Puan tidak lagi menjawab pertanyaan Asoka, ia masih memejamkan matanya, namun mulutnya masih aktif menghisap rokok.
Asoka tak berani untuk bertanya lebih jauh lagi, ia memilih menghidupkan televisi, mencari acara yang dapat mencairkan suasana sepi ini. Keduanya sama-sama diam.
Asoka tahu apa masalah yang sedang menyulitkan temannya saat ini. Apalagi kalo tidak masalah nikah muda. Bu Mada sering sekali meminta tolong Asoka membujuk Puan untuk segera membawa calon tunangannya.
Namun Puan memang keras kepala. Semakin ia di paksa semakin ia menolak.
***