5 menit, 10 menit, 15 menit, tak ada yang membuka suar hingga Ane jengah sendiri ia mengambil remote Tv yang ada di depannya, ia berharap suasana tak secanggung ini.
“Gue,,,” sahut mereka bersamaan.
Ane akhirnya buka suara saat ia benar-benar merasa terbunuh dengan suasana canggung seperti ini. Begitu juga Mahanta.
“Lo aja duluan,” sahut Ane saat kedua matanya bertemu langsung dengan mata Mahanta. Sedetik kemudian, Ane memalingkan pandangannya ke arah kaleng minuman.
“Gue mau bilang makasih sama lo, Tim gue udah masuk 10 besar.”
Ane mengulas senyumnya diwajah cantiknya, “Syukurlah, seneng gue dengernya.” ucapannya. Padahal sebelumnya ia sudah tahu dari Andhisty.
“Nanti waktu sekolah udah aktif pengumuman puncak disana. Kalo juara satu gue bakal tepatin janji buat donasikan hadiah itu ke Panti Asuhan Kasih, “
“Gue harap juga gitu.”
“Oh ya akan ada acara, itung-itung syukuran masuk 10 besar, kalo lo punya waktu datang ya, 3 hari lagi nanti waktu dan tempatnya gue share ke whatsApp lo,”
Mahanta merogoh saku jaketnya, mengambil ponsel miliknya dan menyerahkan pada Ane.
Ane menatap ponsel itu datar, bukan bodoh, ia masih terkejut dengan semua ini. Mahanta tiba-tiba datang, membantunya dan memintainya nomor ponsel. Kemajuan yang terlalu drastis bagi Ane.
Mahanta menggoyangkan tangannya, mengode Ane untuk segera meraih ponsel itu.
Ane mengulurkan tangannya, mengambil benda pipih warna abu-abu tua itu. Jari lentiknya dengan lihai mengetik nomor ponselnya.
Menit berikutnya ia memberikan ponsel itu kepada pemiliknya.
“Tapi kalo lo sibuk nggak papa kok nggak usah__” Mahanta meraih ponsel itu, mengetik nama kontak.
“Share aja lokasi sama waktunya, gue dateng.”
Ane tidak sekejam itu hingga menolak tawaran Mahanta yang memberitahukannya secara langsung, entah apa yang merasuki pria itu hingga tiba-tiba sifatnya berubah.
“Gue juga makasih,” Ane mengarahkan pandangannya ke arah tangan kirinya, Mahanta membersihkan lukanya.
Suasana tak secanggung tadi, mereka berdua mulai terbiasa satu sama lain. Mahanta tanpa beban menceritakan ketertarikannya dalam dunia fotografi, begitu juga Ane yang mulai bercerita tentang awal ketertarikannya pada dunia Fashion.
1 jam telah berlalu,Mahanta sudah berpamitan, dan Ane mulai bersiap untuk menghadiri acara, entah itu acara atau apa, Ane kurang tahu.
Ia hanya akan membuktikan pada sosok Puan kalau ia sedang berurusan dengan tidak sembarang orang. Ia segera bergegas ke arah kamar mandi untuk menyegarkan dirinya setelah seharian beraktifitas, masih ada 3 jam untuknya bersiap sebelum Puan menjemputnya.
‘Liat aja, dia bilang gue nggak menarik? Woyy diluar sana juga banyak kalik cowok yang sudi jadi pacar gue, gue aja yang masih ogah pacaran,’
Ane, memang banyak sekali laki-laki yang mendekatinya, namun tak membuat sosok itu mengubah prinsip hidupnya.
Pacaran menurutnya terlalu bertele-tele dan menghabiskan waktu saja.
Ia juga tahu kalau Taraka sebenarnya suka dengan dia, oleh karena itu Ane selalu bersikap cuek terhadap Taraka, karena ia tidak ingin jika pria itu berharap banyak padanya.
Kalau Mahanta, jujur Ane punya perasaan sedikit terhadap pria itu, namun itu dulu saat Mahanta belum melakukan kesalahan yang membuat Ane sangat membencinya.
Ane mulai menyemprotkan seting spray sebagai final ritual make-up nya.
Ane segera mengganti baju. Ia menatap jengah lengannya, luka yang menurutnya sepele, ternyata sakit juga. Yang membuat Ane lega saat ini karena ia memilih dress lengan panjang, jadi luka di lengannya tidak akan terlihat.
Sempurna! Pantulan cermin yang menampakkan dirinya terlihat sangat sempurnya, dress brokat warna coklat Tua ditambah wedgess warna merah maron, masuk seolah kombinasi yang sangat cocok, dengan polesan make-up pada wajahnya yang menambah cantik wajahnya yang sudah cantik.
Ane hanya mengenakan make-up yang tipis, tidak seperti saat make-up artis me make-up nya untuk kebutuhan pemotretan.
Ane mengenakan bedak yang sama dengan warna kulit wajahnya, memoleskan eyeshedow warna coklat tua dan mengenakan lipstik warna merah bata, bulu matanya yang lentik membuatnya tidak perlu ribet ribet mengenakan maskara.
Ia mengenakan aksesoris cicin warna hitam yang bermotifkan bunga sakura di jari tengahnya. Ia menatap ke arah jari manis, seketika ia teringat dengan mimpinya semalam.
Tanpa Ane sadari semburat merah pada pipinya membuat orang bisa mengira kalau ia mengenakan blush-on terlalu tebal. Namun itu tak membuat Ane menyadari perasaannya yang sesungguhnya.
Ane keluar dari apartemennya, mulutnya tak berhenti mengunyah roti panggang, perutnya meronta-ronta di waktu yang tidak tepat.
‘Lama banget,’ Ane mulai bosan berdiri di base-man apartemennya, sudah 10 menit ia menunggu, 'kalo sampek roti panggang gue ini habis, liat aja gue balik ke atas,’ gerutunya.
Namun tiba-tiba ponselnya berdering, Ane menatap nomor yang tidak ia kenal.
“Unknow? Males gue,” Ane memasukkan ponsel itu kedalam Shoulder-Bag warna merah batanya.
Namun penelpon itu tidak menyerah begitu saja, ia terus menerus menelpon Ane hingga membuat Ane jengah, ‘Sial siapa sih ini, ganggu aja,’ Ane hanya bergumam, tanpa berniat mengangkat telpon itu.
***
"Itu dia,”