Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #24

Payung Hujan

Puan menarik bahu Ane lebih mendekat ke arahnya, payungnya tidak terlalu besar untuk 2 orang.

“Biar nggak basah aja lo!”

"Nggak usah ge’er!” tambahnya.

Ane memutar bola matanya malas, jengah dengan sikap Puan yang selalu berubah- ubah. Kadang manis kadang menyebalkan.

Beberapa PRT mulai memfokuskan pandangannya pada sosok Tuan Mudanya yang sangat jarang mereka lihat. Terakhir Puan kesini saat jamuan makan malam bersama Paradista. Beberapa minggu lalu.

“Tuan muda, tumben kesini ya?"

“Wah disampingnya itu siapa? Pacarnya?”

“Cantik ya. Lebih cantikan yang ini dari pada yang dulu.”

“Cantikan Non Paradista, dia lebih tinggi.”

“Enggak menurutku cantikan yang baru ini.”

“Tinggi enggak menjamin cantiknya seorang, bodi sama tinggi badannya juga cocok aja.Serasi benget mereka. Ya?”

Sosok Paradista memang tidak asing di PRT yang ada di keluarga Puan, PRT yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun di keluarga ini tahu dengan jelas seluk beluk kisah cinta Puan.

Beberapa ocehan dari PRT mulai terdengar hingga membuat Bik Inah memalingkan pandangannya.

'Gadis itu----,'

Benar kataku, dia bukan gadis biasa. Mungkin beberapa tahun selanjutnya dia akan menjadi bagian dari keluarga ini,’ guman Bi Inah, seolah ia teringat kembali dengan kejadian di apartemen Puan malam itu.

Ane mengibas-ngibaskan tangannya yang basah karena hujan, lengan panjang dressnya juga lumayan basah. Ia mendengus sebal, kedua tangannya mulai kedinginan.

Tangannya terulur, memeluk dirinya sendiri, merapatkan kakinya, dinginnya angin malam menerpa wajahnya.

Puan sudah meninggalkan Ane saat ponselnya berdering. Ane menggigil perlahan, ia memilih untuk duduk di kursi yang terbuat dari akar kayu jati yang terdapat di teras rumah ini.

“Non,”

Ane menatap kain handuk putih yang terulur kearahnya, menatapnya sekilas, dan mendongakkan kepalanya menatap wanita paruh baya yang sebelumnya menolongnya namun ia tidak mengenalinya, karena sat itu Ane masih tidur hingga Bik Inah pulang.

Bik Inah berjongkok di hadapan Ane, mengelap tangan juga kaki Ane dengan handuk itu.

“Tuan muda itu gimana, wanita cantik kayak gini kok di ajak hujan-hujan,” Bik Inah mencoba mencairkan suasana, ia dapat melihat perasaan cemas saat menatap kedua mata Ane.

Ane tersenyum simpul, ia merasa bertemu dengan orang baik.

“Tuan Muda itu aslinya baik kok non, Cuma ya gitu lah. Kelihatannya aja cuek tapi aslinya perhatian banget."

"Non ingat beberapa hari lalu Non bangun di apartemen Tuan udah pakai baju yang jelek dan rombeng-rombeng? Itu baju saya. Tuan tiba-tiba nelpon saya disuruh cepet ke sana. Saya kira apaan tapi ternyata untuk mengganti baju non yang basah, non waktu itu juga kayak gini. Tangannya gemetaran karena kedinginan. Tuan aslinya baik, percaya sama bibik,”

Ane kembali teringat tentang kejadian itu, benar, Puan telah banyak membantunya. Dia sebenarnya pria yang baik.

“Makasih Buk, saya Ane,” Ane mengulurkan tangannya, memperkenalkan dirinya.

“Kok manggilnya Buk? Panggil Bibik saja, lah wong saya disini Cuma pembantu,”

Bik Inah menyambut uluran tangan dingin Ane dengan tangan hangatnya, menenangkan.

“Bik?” panggil Puan.

Puan seolah bingung dengan apa yang terjadi, ia melihat seolah Bik Inah sudah sangat akrab dengan Ane.

Bik Inah berdiri dari duduknya, “Ini Den, saya tadi liat Non cantik tangan sama kakinya basah kuyup, dia sampai menggigil, makanya saya kesini. Kalau begitu saya pamit.”

Bik Inah membalikkan badannya meninggalkan Ane dan Puan yang masih saling membuang pandang.

Ane menundukkan kepalanya, menatap ke arah wedgess merah batanya. kulit kakinya terlihat pucat, sangat. Kakinya pun menggigil, ia menyesal menggunakan dress yang panjangnya hanya selutut.

Tahu kalau malam ini ia akan kedingin, ia akan menggunakan baju setebal dan sepanjang mungkin, kalau perlu ia menggunakan jubah.

Puan memajukan langkahnya, membuat Ane dapat melihat sepatu oxford milik Puan berada tepat di depan wedgessnya,

Apa maunya,’ guman Ane dalam hati.

Tanpa disangka, Puan bersimpuh dihadapan Ane, mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, Ane membulatkan matanya melihat tingkah Puan seperti itu. Jangan-jangan___

Salah tebak.’ Gerutu Ane, bukan kotak cincin yang keluar dari saku celana Puan, namun sapu tangan.

Dengan santainya Puan meraih tangan Ane, mengusap tangan setengah kering itu dengan sapu tangan bersihnya.

Puan mendongak, keningnya berkerut, alis tebalnya saling bertautan melihat ekspresi wajah Ane saat ini.

“Ini masih steril, belum pernah gue pakek. Tenang aja."

Salah, ekspresi wajah Ane seperti itu bukan karena mempermasalahkan sapu tangan Puan, hanya saja Ane masih teringat dengan mimpi malam itu.

Lihat selengkapnya