“Sudah berapa lama kalian kenal?” tanya Pak Mada tanpa basa-basi.
“Lama pah.”
“Baru om."
Puan menoleh ke arah Ane, begitupun Ane yang sudah menolehkan wajah cantiknya ke arah Puan.
Mereka menjawab secara bersamaan, namun tidak kompak. Jawaban mereka berbeda.
“Maksud Puan, kita udah kenal lama, tapi pacarannya baru beberapa hari ini, begitu Pah. Iya kan sayang?" Puan menggenggam tangan Ane seolah mengodenya untuk menutup mulutnya.
“Begitu? Baiklah. Papah merestui hubungan kalian berdua. Jadi kapan kalian akan segera bertunangan?”
Mata Ane membulat sempurna, Bertunangan? Yang benar saja.
“Maaf sebelumnya, tapi umur saya baru 15 tahun om."
Ane mencoba bernegosiasi, dengan susah payah dia menghindari kedua orang tuanya saat didesak untuk melanjutkan tradisi keluarga yaitu menikah muda.
“Umur Puan juga baru 17 tahun, bagus lah kalau gitu, katanya kalau pasangan terkait umur sedikit hubungannya akan langgeng.” sanggah Bu Mada.
Bu Mada tersenyum ke arah Ane, ingin sekali Ane menyangkal akan hal itu. Namun ia canggung, Bu Mada bersikap baik kepadanya.
“Gimana Puan?” Tanya Sita bersemangat saat tak ada jawaban dari Puan juga Ane.
Puan menghela nafas panjang, ia sudah tahu ini akan terjadi malam ini, “Secepatnya lebih baik,” ucap Puan tanpa beban yang membuat Ane seolah teringat akan mimpinya.
‘Secepatnya?’
‘Dejafu,’ gumannya dalam hati.
Puan melamarnya dalam mimpi, namun saat ini ia merasa seakan mimpi itu menjadi nyata.
Ane tak tahu ia harus senang atau marah, ia memilih bungkam. Semua kejadian ini terlalu mengejutkan dirinya.
“Satu minggu lagi bawa kita mampir ke rumah kamu ya Ane, sepertinya kabar bahagia ini harus segera didengar oleh kedua pihak keluarga,” Bu Mada lagi-lagi bersikap sopan ke arah Ane.
Nada bicaranya sangat halus, berbeda dengan Puan. Ane hanya dapat menganggukkan kepalanya, tersenyum manis ke arah Bu mada. Dalam hatinya ia ingin menyangkal, tapi apa daya, ia yakin Puan akan menurunkannya di jalan jika ia membuat acara makan malam ini kacau.
Sedangkan Puan, ia seolah meruntuki apa yang baru saja ia ucapkan. Ia dibuat bingung dengan dirinya sendiri.
Setelah jamuan makan malam, mereka semua pindah ke ruang keluarga. Ane mulai membaur dengan keluarga Puan, sesekali ia menceritakan tentang papahnya yang kebetulan juga bekerja di bidang properti saat Pak Mada mulai menceritakan kesibukannya.
Bahkan Sita, kakak Puan yang umurnya 6 tahun lebih tua dari dia juga mulai akrab dengannya. Mereka berdua bahkan mulai membicarakan masalah fashion, karena ada kecocokan di antara keduanya. Sita yang seorang desainer dan Ane yang seorang model, begitu juga dengan Bu Mada yang juga pecinta fashion.
Puan hanya mengamati tingkah Ane yang seolah sudah cocok dengan keluarganya. Ia tak tahu Ane ternyata gadis yang supel dan mudah akrab. Karena saat dengannya, Ane tak pernah berbicara dan bertingkah manis seperti ini.
Entah mengapa ada perasaan senang melihat hal itu, namun sekilas. Ia teringat kembai.
Siapa dia.
Siap Ane.
Dan tak adanya hubungan Ane dengan dirinya.
3 jam telah berlalu, Puan berpamitan dengan alasan sudah larut malam, padahal Ane masih asik ngobrol dengan Sita juga Bu Mada.
“Ane menginap disini ya?” Bu Mada menarik tangan Ane seolah tidak rela membiarkan Puan membawanya pergi.
“Udah nginep sini aja, besok gue anterin,” Sita menimpalinya, membuat Ane sungkan untuk berpamitan.
“Saya___”
“Besok dia ada acara pagi-pagi, jadi nggak bisa,” potong Puan cepat.
Ia menarik paksa lengan Ane, Ane meringis seketika saat bahu yang ada lukanya di tarik begitu saja. Ane menahan sakitnya juga luapan emosinya, setidaknya ia tidak membentak Puan di hadapan keluarga Puan.
“Baiklah, kapan-kapan kalau ada waktu kita ngobrol lagi ya,” Sita memeluk Ane seolah sudah mengenal lama gadis itu.
“Kalo gue telpon angkat ya,” Ane hanya dapat mengangguk, sebelumnya mereka memang sudah bertukar nomor telepon.
“Ayo!”
Puan menarik lagi lengan Ane tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Lagi-lagi Puan bertindak seenaknya.
***
Ane menghempaskan tangan Puan begitu saja dari lengannya saat mereka sudah berada tepat di depan mobil Puan, dan jauh dari jangkauan keluarga Puan.
Ingin rasanya Ane meluapkan semua emosi yang sedari tadi ia tahan.
“Aaaa,,, dasar manusia nggak punya perasaan!!" umpatnya yang membuat Puan melotot seolah tidak terima.
“Nggak berperasaan? Itu Lo bukan gue!” Bukannya meminta maaf, Puan malah balik membentak Ane membuat gadis itu ciut nyalinya.
“Gue Cuma bilang lo duduk dan diem aja disana, jawab pertanyaan yang penting-penting aja,”
“Gue nggak suka lo cari muka di hadapan keluarga gue!”
Puan terus membentak membuat Ane ingin melepas wedgessnya begitu saja dan melemparkan ke arah pria itu. Ane menahannya, ia malas memperpanjang debat ini.