Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #28

Satu Atap

Ane membuka matanya secara perlahan saat sinar matahari sudah menembus kaca jendelanya yang tidak tertutup oleh gorden. 

Malam kemarin ia lupa menutup gordennya, karena saat itu ia ingin tidur di temani cahaya bulan dan keindahan malam langit Ibu Kota.

Ini sudah pagi, ia melirik sekilas ke arah jam digital yang ada di sampingnya itu. Jam 06.06, waktu yang cantik.

Tanpa Ane sadari ponsel yang ada di nakasnya berdering. Sudah lima kali Mamahnya menelponnya namun Ane tidak menyadarinya karena ponselnya sedang dalam mode diam.

Ane bangun dari tidurnya mengambil cepol rambut untuk menggulung rambut panjangnya ke atas. Ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selesai dengan ritual paginya, ia menghidupkan televisi, ia ingin bersantai sejenak hari ini, sebelum aktifitas paginya dimulai.

Perut laparnya membuat Ane keluar dari kamarnya untuk segera menuju dapur dan memulai ritual masaknya seperti biasanya.

Ane memutar kepalanya ke arah sofa panjang, ia mendekat ke arah pria itu, matanya masih terpejam. Ane melanjutkan langkahnya menuju dapur.

Ane mulai memasang kabel pemanggang roti andalannya pada stop kontak yang ada disampingnya. Ia memasukkan roti tawar pada toaster yang masing-masing slot nya diisi satu lembar roti. Ane mengatur tingkat panggangannya, ia menurunkan tuas pada toaster itu untuk mulai memanggang roti.

Ane mulai memanaskan air pada panci alumunium, ia mulai meracik dua gelas cokelat hangat, suhu pagi ini sangat fenomenal. Lebih dingin dari biasanya.

Ting Ting Ting

Tak menunggu lama suara Ting pada toaster menandakan kalau roti yang ada di dalam sana sudah matang. Ane mengangkat 2 lembar roti itu dan mengisinya dengan lembaran roti yang lain ia terus mengulanginya hingga dirasa cukup untuk 2 porsi besar.

***

Puan mulai membuka matanya, bau khas roti panggang mengganggu indra penciumannya. Seketika ia merasa perutnya mulai meronta-ronta untuk diisi makanan.

Alih-alih perutnya lapar, pandangannya fokus dengan selimut yang masih membalut hangat tubuhnya.

Gue harus rubah sikap gue ke dia,’

Puan seolah tersadarkan dengan sikap Ane yang baik terhadapnya, mulai membersihkan lukanya, membantu saat dia terkena Asma, juga sekarang.

Puan berjalan ke arah meja makan yang tak jauh darinya, dentingan piring mulai terdengar dari sana. Puan dapat melihat Ane yang sibuk dengan sarapannya.

Ane memakan roti panggang itu sambil membaca beberapa jadwal dia hari ini, senyumnya mengembang begitu saja saat ia hari ini free.

Puan seolah terhipnotis saat melihat senyum Ane itu. Terdengar sedikit aneh. Padahal Ane tidak tersenyum ke arahnya namun Puan tetap saja merasa ada desiran aneh dalam jantungnya.

Ane memutar kepalanya, matanya membelalak sempurna saat melihat Puan berdiri tak jauh darinya.

“Duduk dulu, sarapan dulu, udah aku bikinin itu, nanti baru pulang,” sahutnya sembari menunjuk roti panggang juga satu gelas cokelat panas.

Puan menuruti perkataan Ane, ia menjadi penurut sekarang. Sesekali, Puan mencuri-curi pandang ke arah Ane yang kembali disibukkan dengan ponselnya.

“Makasih sebelumnya,” Puan membuka suara setelah ia tak tahan dengan suasana canggung seperti ini.

Ane memalingkan pandangannya dari ponsel ke arah Puan, senyum gadis itu merekah.

“Tumben,”

“Tumben maksutnya?”tanya Puan seolah kata-kata Ane sangat membingungkan untuk ia cerna.

“Nggak papa, lanjut makan aja,”

Puan menatap Aneh ke arah Ane, ada banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan. Apalagi mengenai kejadian semalam. Kejadian Ane pulang larut malam.

Dengan siapa wanitu itu pulang?

Jas dan flip flop yang kebesaran itu milik siapa?

Namun saat melihat Ane senyum-senyum tidak jelas saat melihat ke arah ponselnya membuat Puan ingin tahu.

Apa sebenarnya selama ini dia deket sama seseorang?’

Puan mulai curiga kalau sebenarnya Ane mempunyai kekasih namun sengaja tidak gadis itu publikasikan. Karena melihat tingkah Ane beberapa kali tersenyum sambil menatap ke arah layar ponselnya. Seolah sedang membaca pesan dari kekasihnya.

“Oh ya jas sama flip flop kemarin punya siapa? Nggak pantes aja sih lo pakek, jadi kayak gembel.”

Alih-alih ingin mencairkan suasana, Puan malah memperburuk suasana. Namun Ane tak mengindahkan hal itu, satu hari free di saat libur sekolahnya masih panjang membuat ia sudah merasa sangat bahagia. Ia berniat menghabiskan waktu hari ini untuk menonton beberapa film yang sempat ia lewatkan.

“Punya Kak Aksa.”

Mata Puan membelalak sempurnya, nama itu sangat familiar di kedua daun telinganya.

“Aksa siapa?”

“Kakak ipar lo. Lo lupa?” Ane memalingkan pandangannya dari ponsel itu saat fokusnya diganggu oleh Puan yang terus menerus mengoceh.

Puan menyilang kan kedua tangannya di depan dadanya, pria itu menatap tajam ke arah Ane. "Sejak kapan kalian akrab?”

Puan merasa janggal, ia tahu betul kalau kakak iparnya itu tipe orang yang sangat cuek, dan masa bodoh. Apalagi dengan perempuan.

“Saat lo dengan teganya ngebiarin gue keluar dari mobil tanpa ponsel juga tas.” Sindir Ane mengungkit kejadian kemarin malam.

“Lah, itu kan emang kemauan lo. Lo yang tiba-tiba aja pergi. Emang gue nyuruh lo?” ketus Puan. Ah ya, ternyata pria itu sekarang pandai berdebat.

“Ya,, setidaknya tunjukkin jiwa manusiawi lo, kejar gue kek, paksa gue naik mobil lo kek, kayak nggak tahu cewek itu gimana.”

Jual mahal

“Sory ye gue bukan cowok yang___“

“Ane,, Ane mamah datang sayang.”

Ane berdiri dari duduknya begitu saja. Kedua matanya membulat sempurna.

Lihat selengkapnya