Ane menanting lengah Puan, membantu pria itu berjalan. Sekilas Puan melirik ke arah gadis yang ada di sampingnya, senyumnya mengembang.
'Apa gue harus terluka dulu agar lo bisa perhatian gini sama gue' Puan menyunggingkan senyumnya, luka di wajahnya seakan tak ada rasa sakitnya.
"Lo bawa mobil?"
"Heem"
"Kuncinya?" Puan mengambil kunci mobil dari saku celananya.
Senyum Ane mengembang saat ia melihat Range Rover warna hitam doff ada di depannya. Melihat dari plat nomor cantiknya ia yakin itu punya Puan. Syukurlah, Ane tak harus menenteng badan bongsor Puan lebih lama.
"Otot doang yang gede, mabuk jalan aja nggak bisa." Cibir Ane, ia berniat bermonolog malah berdialog
"Apa lo bilang?"
"Nggak, itu mobil lo kan?" tanya Ane mengalihkan pembiraan, tangan kirinya menunjuk Range rover warna hitam doff yang tak jauh darinya.
"Hemm."
Ane segera memencet smart key dan membuka pintu mobil itu. Ia menanting Puan untuk duduk di kursi penumpang. Ane menutup pintu mobil itu dan segera menuju kursi kemudi, ia menghidupkan mesin mobil itu dan segera melajukan mobil itu ke apartemen Puan.
Fokus Ane mulai terganggu saat ia merasa Puan terus-menerus mengamatinya.
"Kenapa?" Ane mulai berdialog, memecah kesunyian yang tercipta di antara keduanya.
"Punya hubungan apa lo sama Mahanta?"
Ane menghela nafas berat, andaikan saja keadaan Puan tidak seperti gembel saat ini, Ane sudah meninggalkannya begitu saja.
Dan juga, bisa-bisanya Puan masih memikirkan kejadian tadi sedangkan keadaannya saat ini begitu mengenaskan.
Bukannya menjawab pertanyaan dari Puan, Ane malah menambah kecepatan mobil itu, ia ingin segera mengakhiri ini semua. Malas dengan tatapan mata Puan, juga malas dengan semua ocehan dan pertanyaan Puan.
Ane menanting tubung Puan, pria itu kini sudah menutup mata namun kakinya masih bisa berjalan. Aneh kan?
'Berat banget ni bocah.'gerutu Ane.
Ane mengangkat tangan Puan, menempelkan ibu jari Puan pada kunci pintu apartemen Puan yang berbasis sidik jari.
Ane menidurkan Puan di kasurnya begitu saja, memposisikan tubuh pria itu senyaman mungkin, lalu Ane melepas sepatu yang masih merekat di kedua kaki Puan.
"Akhirnya, selesai juga." Ane meregangkan otot-otot bahunya.
Ane menatap sendu wajah Puan, wajah tampan pria itu kini ada sedikit lebam, pelipis dan sudut bibirnya bahkan berdarah. Alih-alih ingin langsung pulang, Ane malah menuju dapur di mana kotak P3K itu berada.
Ane membersihkan luka itu secara perlahan. Ia tersenyum Puas saat semua luka Puan sudah ia obati.
"Waktunya pulang."
Ane memasukkan kembali beberapa barang tadi yang ia keluarkan ke dalam kotak P3K itu. Ia berdiri dari duduknya, saat akan melangkahkan kakinya untuk pergi, tiba-tiba ada yang menarik tangannya lembut, otomatis Ane memutar tubuhnya kembali.
Puan sudah membuka matanya, ia menatap lamat-lamat ke arah Ane, tatapannya sendu.
"Ke_kenapa?" tanya Ane gugup karena tatapan Puan seperti itu.
"Gue_ gue mau lo,,"
"Ambilin gue minum, gue haus."
Ane menghirup nafas seketika, ia mengedipkan matanya berkali-kali dan mengutuk otaknya yang sudah berani berfikir macam-macam. Ia segera menuju dapur, mengambil botol air mineral dari dalam kulkas dan memberikannya pada Puan. Puan membuka penutup botol itu, tak lama ia meneguk habiskan air mineral yang ada di dalam botol itu.
Ane memutar badannya kembali berniat utuk pulang.
"Ne__gue sebenernya__"
Merasa ada yang memanggil, Ane memutar badannya kembali.
"Apa?" sewot Ane saat Puan diam kembali dan hanya menatapnya.
"Gue,,"
"Ngomong apa sih." Ane mulai tidak sabar.
"Gue sebenernya mau lo__"
"Kompresi lebam gue, masih sakit." Sambung Puan kembali. Pria itu menatap ke arah Ane, tatapannya seperti memohon saat ini.
Ane menghela nafas panjang, ia kira Puan ingin berbicara apa, dari nada bicara pria itu yang membuat Ane bingung sesaat.
Ane segera memutar badannya, ia segera melesatkan diri ke arah dapur. Ane mengambil baskom alumunium, air es juga handuk kecil. Ia segera membawa ke kamar Puan.
Ane memposisikan diri duduk di samping Puan, pria itu sudah duduk dari tidurnya. Dengan telaten, Ane menyelupkan handuk kecil itu ke dalam baskom alumunium, memeras hingga airnya tak tersisa dan menempelkan perlahan di pipi kiri Puan, pipi pria itu ada luka lebam biru yang mulai memerah warnanya.
"Awwwww." Rintih Puan saat Ane malah dengan sengaja menekan kencang kain handuk itu pada lebam Puan.
"Sakit Ne." Protes Puan dengan sikap Ane.
"Siapa juga yang nyuruh lo berantem. Lo kira lo itu Rocky Marciano yang bisa ngelawan siapa aja." Sulut Ane sambil membawa nama petinju kelas dunia.
Wajah sebal Ane seperti itu membuat Puan gemas sendiri, tanpa sadar tangan kanan pria itu terulur ke depan, ke arah Puncak kepala Ane, mengusap rambut gadis itu perlahan.
Ane memundurkan kepalanya, menyipitkan kedua mata tajamnya ke arah Puan.