Mobil Puan memasuki halaman rumahnya, ia menyempatkan mampir ke rumah karena Pak Mada--papahnya, ingin berbicara penting dengannya.
"Sayang," Bu Mada memeluk erat anak bungsunya itu.
"Papah kamu udah nungguin dari tadi, ayo."
Akhirnya mereka berdua berjalan menuju taman belakang rumah--mulai memposisikan diri duduk di atas bangku yang terbuat dari akar kayu jati, sudah ada beberapa camilan ringan dan juga teh hangat di atas meja kayu bundar itu.
Pak Mada terus memperhatikan wajah anaknya itu, ada beberapa luka lebam disana. Ia tahu ada yang tidak beres dengan anak nya itu.
"Kamu apa kabar?"
Puan mengangkat wajahnya, menatap lekat-lekat laki-laki paruh baya itu, tatapannya sendu.
"Baik pah."
"Kamu pasti sudah tahu apa yang akan papah bahas saat ini." Pak Mada mulai menyesap teh hangat pada gelas keramik itu.
Puan hanya menundukkan kepalanya, berita tentang pertengkaran hebat di klub malam itu pasti sudah sampai di telinga papahnya.
"Puan minta maaf kalau hal itu membuat papah malu."
Tawa sumbang terdengar jelas di telinga Puan, Pak Mada menuangkan teh hangat pada cangkir Puan. Bu Mada membelalakkan kedua matanya sempurna saat melihat hal itu, ia berfikir suaminya itu akan menghajar habis anaknya karena sudah berani mempermalukan keluarga dengan bertengkar di depan umum.
"Minum dulu, habis kan. Ada banyak hal yang ingin papah bicarakan."
Puan mengambil gelas keramik itu, meminum hingga habis teh hangat itu.
"Papah tahu apa penyebab kamu bertindak gegabah seperti itu. Untuk saat ini papah tidak menyalahkan kamu. Kamu berada dalam posisi yang benar. Wajar apabila seorang pria menghajar pria lain yang dengan berani menggoda wanitanya."
Puan kembali mengingat kejadian bodoh itu, saat ia memukul Mahanta tanpa perlawanan dari korban.
"Cepat resmikan hubungan kalian, bertunangan lah dengan Ane. Dan segeralah menikah. Kamu pasti masih ingat tentang tradisi keluarga kita, Papah harap sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini kamu tidak akan bertindak gegabah lagi. Minggu depan Papah akan kembali ke Singapura."
Pak Mada memberi jeda waktu sebelum meneruskan ucapannya.
"Sebelum papah kembali ke Singapura, papah berniat meresmikan hubungan kalian berdua. Papah harap kalian dapat bertunangan minggu depan. Beri tahu Ane tentang rencana papah."
Pak Mada berdiri dari duduknya, ia mulai berjalan ke area lapangan golf yang ada di halaman belakang rumahnya.
"10 menit lagi susul papah ya, kita udah lama nggak main golf bareng kan?" sahut Pak Mada sebelum melangkahkan kakinya ke arah lapangan golf yang ada di belakang rumah. Lapangan golf mewah yang di peruntukkan keluarganya.
Semasa kecil, Puan memang sering bermain golf dengan papahnya, tak heran jika ia pandai main golf sekarang.
"Baik pah."
"Da, jujur mamah suka sama Ane. Nggak tahu kenapa mamah sayang aja dia. Mamah harap kamu dapat mengindahkan permintaan papah kamu. Jangan buat dia kecewa Da, Mamah percayakan itu padamu."
Puan dibuat bingung dengan keadaannya sekarang, sejenak ia menyesali tentang tindakannya membawa Ane di depan keluarga besarnya, namun di sisi lain, ia juga merasakan hal yang sama, ia mulai ada ketertarikan pada Ane.
Gadis itu telah menunjukkan sisi baik yang tak dilihat Puan dari gadis lain. Namun mengingat kejadian pagi tadi saat Ane berpelukan mesra dengan pria lain membuat kepala Puan rasanya mendidih. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
Puan tak berfikir jika kedua orang tuanya akan menyukai Ane seperti ini. Puan mengacak acak rambutnya gusar, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
***
Abi, kapan kamu pulang sayang?" Bu Maharanendra memeluk erat tubuh anak sulungnya itu, ia telah lama tak berjumpa dengan anaknya itu.
"Bagaimana kabar Kaia dan Atan?" Abimanyu mencium kedua pipi mamahnya, ia juga sangat merindukan wanita itu.
"Baik Mah, kemarin dia mau ikut aku ke jakarta, tapi Atan badannya tiba-tiba demam jadi Kaia nggak berani keluar rumah, kalo Atan lagi sakit kayak gitu lebih manja sama mamahnya." Jelas Abimanyu panjang lebar.
"Mamah gimana keadaannya. Mamah mau ikut aku nanti balik ke Bandung? Sekalian liburan disana, gimana?"
"Iya mah, sekalian liat rumah baru Kak Abi." Saran Ane kembali.
"Kamu ikut sekalian Ne, banyak spot foto banyak di sana. Katanya kemarin kehabisan spot foto endors? Ajak sekalian Seka."
"Yakin boleh kak?" Kedua mata Ane berbinar, ia sangat bersemangat setiap kali pergi ke Bandung.
"Kamu ajak teman mu yang lain juga boleh. Satu minggu lagi, setelah urusan pekerjaan kakak disini selesai kita berangkat."
Ane segera mengambil ponsel yang ada di saku celananya saat beberapa kali benda pipih itu berdering. Tak menunggu lama, ia menggeser panel hijau dari layar ponselnya itu, dan segera menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.
"Kebetulan lo nelpon gue ada yang mau gue bicarakan penting."
"..........."
"Tunggu, gue bentar lagi kesana."
***
Ane mulai menyandarkan kepalanya di meja cafe begitu saja saat Seka tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ane sudah kenyang sendiri, ia habis meminum jus mangga 3 gelas. Perutnya rasanya kencang, penuh dengan minuman.
Siapa yang mengajak bertemu siapa juga yang akhirnya mengulur waktu.