Ane menatap hampa layar ponselnya. Ia bingung harus menelpon Puan dan minta penjelasan dari pria itu atau tidak.
Dilain sisi, Ane gengsi untuk menelpon duluan. Tapi di sisi lain ia juga ingin tahu apa yang membuat Puan membawakannya bunga dengan secarik surat itu. Dan yang lebih membuat rasa ingin tahu Ane memuncak adalah kenapa Puan membuang bunga itu bukannya memberikannya langsung pada Ane. Dan juga, darimana pria itu tahu kalau Ane suka sekali dengan lidah mertua?
‘Lagian ini bunga kan di buang, jadi mungkin dia nggak berniat ngasih gue ini.’
‘Tapi masak iya, gue juga pengen tau kenapa dia ngirim bunga ini.’
‘Telfon nggak ya?’
Ane terus saja bergumam, ia masih bingung langkah apa yang harus ia lakukan.
“Ne, buruan telpon minta penjelasan, gue yakin ada salah faham waktu dia kesana.”
“Udah lah ayo telpon.” Seka mengambil ponsel Ane dari tangan Ane begitu saja. Ia segera mencari kontak Puan dan segera menelponnya. Dan ternyata,,,Tersambung.
“Gilak lo ya, kasih ponsel gue.”
Seka terus menerus memegang kepala Ane yang berusaha mengambil ponsel itu darinya. Ia bahkan meninggikan tangannnya agar tak terjangkau oleh Ane.
“Ishhhhhh.” Geram Ane.
“Seka gue bilang balikin!” Seka tak menggubris, ia terus menerus menelpon Puan walaupun sudah 3 kali panggilan itu di abaikan.
“Si Puan bangsat banget, sok jual mahal. Dasar laki sok.” Seka tak menyerah begitu saja, ia terus menerus menelpon nomor Puan, hingga terdengar suara di sambungan telponnya.
“Halo?”
Seka berjingkak-jingkat tak jelas, ia segera menempelkan ponsel tadi ke kuping temannya itu.
“Bicara njing.” Seka menepuk pundah Ane begitu keras hingga membuat Ane ingin menyiram Seka dengan Jus Alpukat yang ada di depannya.
“H__hai.”
Ane dengan susah payah mengatur nafasnya, ia tak tahu apa yang harus ia bicarakan, entah kenapa berterimakasih sangat sulit baginya. Dan kini ia berbicara dengan suara bergetar. Segugup ini kah dia?
“Kenapa?”
“Itu,, tadi lo yang itu__”
“Bicara yang jelas.”
Suara Puan terdengar begitu dingin, Ane mengerucutkan bibirnya seolah ia sangat
jengekel dengan sikap dingin pria itu.
“Jangan jangan jangan.” Ane meruntuki dirinya sendiri, lidahnya seolah kelu tak bisa di tekuk untuk berbicara.
“Ha?”
“Gue bisa nggak lo ketemu gue.”
“apaan?” bingung Puan saat Ane membolak-balikkan kata-katanya.
“Gue bisa nggak ketemu lo sekarang. Telmi banget.” Sahut Ane dengan sekali nafas.
Tersadar akan apa yang ia ucapkan, Ane menutup mulutnya dengan kedua tangannya, meruntuki semua kata yang baru saja ia lontarkan.
Mau di taruh di mana muka cantiknya saat dengan pd nya ia mengajak Puan KETEMUAN.
Kalut dengan fikirannya sendiri, Ane memejamkan matanya dan menjedotkan dahinya pada meja.
“Sekarang juga?.” Diluar dugaan Ane, ia kira Puan akan menolaknya mentah-mentah. Mata Ane berbinar.
Seolah mendapat lampu hijau, senyum Ane mengembang.
“Iya,,, gue share alamat ke___”
“Gue sibuk.” Potong Puan tak tahu sopan.
"Oh ya, bunga lidah mertua, makasih ya, tahu aja lo selera gue..”
Puan terdiam, tak mengeluarkan suara, membuat Ane melirik layar ponselnya, ah ternyata panggilannya masih terhubung, hanya saja Puan yang memang tak bersuara.
“Puan.” Panggil Ane.
“Hem?”
“Gue mau minta penjelasan, datang ke tempat yang gue share.”
“Nggak.”
“Gue mau minta penjelasan.” Lirih Ane, karena suara toaknya tadi menyita perhatian beberapa pengunjung cafe.
“Nggak ada yang perlu di jelaskan.”
“Bangsat.” Seolah terpancing emosi, Ane dengan santainya mengumpat.
“Apa lo bilang?”
“Sekarang juga gue tunggu lo di Cafe JR.” Ane mematikan telponnya secara sepihak.
“Bagus! Cerdas! Cakep! Gitu dong,” Seka menepuk-nepuk pundah sahabatnya itu dengan bangga. Mulutnya tak henti-hentinya memuji keberanian Ane.
“Ha! Dia kira gue takut sama dia?"
Ane mengibas-ngibaskan rambut indahnya yang sedari tadi sudah ia urai. Namun di luar dugaan, kakinya bergetar tanpa henti, ia gugup bukan main, sebentar lagi pria itu ada di hadapannya.