Ne, lo kenapa sih tumbenan banget diem aja. Biasanya ngoceh-ngoceh nggak jelas.” Seka seakan heran dengan sikap temannya itu yang tiba-tiba menjadi sosok pendiam.
Ane mengambil gelas minum yang sudah di racikkan oleh waitress bar ini, ia meneguk wiski itu dengan sekali teguk.
Ane menarik nafasnya frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri, ia menggeletakkan kepalanya pada meja bar itu begitu saja. Fikirannya kalut.
Perkataan mamahnya beberapa hari lalu membuat Ane stres bukan main. Saat ini ia tak tertarik dengan siapapun namun dipaksa untuk menikah hanya karena tradisi keluarga. Seketika fikirannya kembali ke beberapa hari silam.
Flashback on
“Ne, mamah serius waktu nyuruh kamu bawa laki-laki pilihan kamu minggu depan.”
Ane menghela nafas berat, ia menghentikan kegiatannya mengecat kuku tangan kirinya.
Ane memutar kepala 90 derajat ke arah mamahnya yang ada disampingnya. Ia menghela nafas panjang. Bukannya menjawab, Ane hanya tersenyum simpul dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.
“Kenapa mamah tertarik ya sama anaknya temen mamah.”
“Anak temen mamah yang mana?”
Ya itulah yang Ane tanyakan, karena memang banyak sekali anak temen Mamahnya itu yang dengan lancang datang ke rumah keluarga besarnya dan berniat untuk mempersunting Ane.
Karena bukan berita baru lagi tentang tradisi keluarga Ane yang menikahkan anak perempuannya di umur 17 tahun.
“Anaknya Tante Elok.”
‘Seno.’
Ane mengerutkan dahinya, bulu kuduknya seakan berdiri saat mendengar Mamahnya menjodohkannya dengan Seno.
‘Dih sama om-om, nggak banget.’
“Dia baik, ganteng lagi, sudah mapan, dan perilakunya positif banget Ne, ya semoga dia bisa membimbing kamu menjadi lebih baik. Siapa tahu dia bisa buat kamu berhenti main ke klub malem?”
Memang benar, Seno memang pribadi yang baik. Pria itu tidak pernah menyentuh yang namanya rokok seperti pria lainnya, apalagi minuman ber-alkohol. Haram bagi pria itu.
Pria itu juga tak pernah menyinggahi klub malam, kecuali ada teman dekatnya yang mengundangnya khusus hanya untuk merayakan suatu pesta, namun di sana juga dia tak meminum alkohol, hanya soda.
Ane akui, Seno memang tampan, di tambah sikapnya yang positif, juga mapan. Namun entah mengapa Ane tak tertarik sama sekali dengan Seno, walaupun pria itu sudah berkali-kali menembaknya. Namun Ane juga berkali-kali menolaknya.
Aneh memang, Ane juga bingung dengan sikapnya sendiri.
Ane memutar kepalanya, kesal. Ia sangat jengkel setiap kali ada orang yang menyinggungnya tentang kebiasaannya main ke klub malam, termasuk mamahnya.
“Ane ke klub Cuma minum mah, nggak lebih.”
“Mamah tahu sayang, tapi alangkah baiknya kalo kamu menghentikan kebiasaan buruk kamu. Mamah capek denger kamu gebukin orang waktu mabuk.”
Ah ya, beberapa kali Ane memang pernah memukul orang. Namun ia tidak mungkin memukul tanpa sebab. Beberapa om-om hidung belang yang mencoba macam-macam dengannya, mencoba mengambil kesempatan saat Ane mabuk itu lah yang menjadi sasarannya.
Siapa kira wajah cantik, body ramping bak boneka bisa menjadi buas begitu saja.
Beberapa orang korbannya bahkan ada yang sampai patah tulang, juga masuk rumah sakit dan harus menjalani rawat inap.
“Besok pasti aku kenalin dia ke mamah, mamah tenang aja.”
Tapi siapa?
“Syukurlah, Mamah nggak akan maksa kamu untuk suka sama Seno. Kalau kamu sudah ada ya syukurlah. Ingat kurang 5 hari lagi. Mamah udah kasih tahu papah. Semoga kamu nggak kecewain mamah dan papah ya sayang.”
Bu Maharanendra memeluk erat anak bungsunya itu. Ia sangat berharap Ane akan menepati janjinya, ia berharab laki-laki pilihan anaknya itu dapat membuat Pak Maharanendra mengubah pandangan terhadap dirinya, juga membatalkan gugatan cerainya.
Ia berharap ia dapat dihargai dan di nilai sebagai seorang ibu yang berhasil mendidik anaknya. Ia juga berharap dengan Ane menikah dapat menghilangkan sikap buruk gadis itu.
Flashback Off
“Ne!”
Ane membuka matanya kembali saat dirasa ada yang menepuk bahunya sangat kencang .
“Lo jangan kayak orang tolol napa? Ke klub bisa-bisa tidur.” Cibir Seka sembari meneguk wiski pada gelas minumnya.
“Gue capek hidup kayak gini.”
Ane menuangkan wiski ke dalam gelas minumnya kembali, meneguk begitu saja.
“Pasti nyokap nyuruh lo segera nikah. Sudah gue duga.”
“Ada saran?”
Ane memutar kepalanya, ia berharap sahabatnya yang kecerdasan otaknya lebih tinggi dari nya dapat memberinya solusi.
“Dengerin baik-baik.” Ane mengangguk, menatap serius ke arah temannya itu.
“Sepupu gue.”
Ckk
Ane sudah menduga, tak seharusnya ia meminta saran kepada Seka tentang masalahnya yang satu ini. Karena Ane tahu sendiri jawabannya. Pasti Seka akan mempromosikan sepupunya.
“Taraka, kurang apanya coba dia. Cakep, udah mandiri, menghargai wanita, dan humoris lagi, lo bisa awet muda Ne kalo nikah sama sepupu gue. Gue jamin.” Ucap Seka bersemangat saat mempromosikan sepupunya itu.
Ia bahkan menekan kata pada setiap kalimatnya. Seolah ia percaya sepenuhnya kalau sepupunya itu pria baik dari yang terbaik.
Mendengar nama Taraka di sebut, Ane seolah mengingat kejadian beberapa minggu lalu.