“Duduk dulu.”
Ane menepuk-nepuk bangku yang ada di sampingnya. Taraka menatap ke arah Ane hampa, pria itu hanya menatap tanpa berniat untuk duduk di bangku itu.
Ane menarik halus tangan pria itu, menanting menyuruhnya duduk di sampingnya.
“Gue nggak tahu apa yang buat lo sesuka itu sama gue. Lo nggak lihat penampilan gue tadi? Lo masih tertarik juga?”
Ane tertawa hampa, ia tak mengerti apa yang ada di dalam otak pria itu. Menurut Ane ia bodoh bukan main. Taraka, pria tampan yang sudah mapan, peringainya juga sangat baik. Pria itu bisa mendapatkan gadis lain yang lebih cantik dari Ane, namun lagi-lagi karena ketulusan cintanya membuat ia susah berpaling dari Ane.
“Gue juga heran kenapa gue bisa suka banget sama lo, lo pasti risih banget ya lihat kekukuhan gue kayak gini? Bawa keluarga besar, ngagetin lo.”
Taraka mengukir senyum di wajahnya, Ane tahu itu semua palsu. Ane merasa bersalah, sangat.
Ane memeluk pria yang ada di sampingnya, “Maafin gue, gue nggak bisa bohongin perasaan gue.” lirihnya sembari menumpahkan air mata yang sebelumnya ia tahan.
“Lo ngapain nangis? Jangan nangis, cantiknya luntur nanti.” Goda Taraka mencoba mencairkan suasana.
Bukannya terhibur, Ane malah semakin menangis dalam pelukan pria itu, Taraka tersenyum, ia merasa bersalah jika benar Ane menangis ini karena ulahnya yang membawa keluarga besarnya.
“Nggak lucu dong Ne, kalo nanti kita masuk ke dalem dalam keadaan mata lo sembab, bisa dikira gue aniaya lo lagi.” Lagi, dan lagi, pria itu masih sempatnya melawak.
Ane heran, apa yang ada di dalam otak pria itu, bukannya marah dan memaki Ane, malah tertawa seperti itu.
“Mana Ane yang kuat, tegas nggak pernah nangis, gue berteman lama sama lo baru kali ini liat lo nangis.”
"Ini lebih menyedihkan daripada tragedi jubah mandi Lo kemaren ya?" Taraka seolah ingin menghibur Ane, walaupun hatinya sendiri sangat rapuh.
Ia hanya meruntuki dirinya yang tak bisa melupakan Ane, remaja yang menurutnya sangat cerewet namun berhasil mencuri perhatiannya itu.
Taraka beserta keluarganya berpamitan, ada beberapa tatapan sendu dari pihak keluarga Taraka. Tak dapat dipungkiri, sepandai-pandainya tupai meloncat akan terjatuh juga. Begitu juga dengan Taraka, sebaik-sebaiknya ia menutupi luka yang ia rasakan saat ini, akhirnya terbongkar juga.
Namun keluarga besar Taraka berpamitan dengan sangat sopan.
Ane masih berada di taman itu, ia menangis sesenggukan, bingung merasakan hatinya yang seperti batu. Tak dapat merasakan cinta sama sekali. Ia tak tertarik sama sekali dengan pria mana pun.
Bahkan pria sesempurna Taraka Handoko saja tak berhasil mencuri hatinya, Ane rasa hatinya saat ini benar-benar sudah mati.
Ane mendengar dengar jelas suara keributan yang berasal dari dalam rumahnya yang di dominasi oleh suara Papahnya. Ane menutup kedua kupingnya, ia tidak kuat.
“Kak Iriana,,”
Ane sangat merindukan sosok kakak nya itu. Sosok wanita yang menjadi penenangnya di saat Pak Maharanendra memarahinya di waktu ia masih kecil. Beberapa kenakalan masa kecil yang membuat Ane sering kena marah dari papahnya, dan Irianan selalu menjadi penenangnya, selalu mengusap air matanya dan memeluknya disaat adiknya itu menangis.
Hingga suatu saat ada yang menepuk bahunya perlahan.
“Kamu kenapa? Udah nggak papa, hati memang nggak bisa di paksain, Kakak udah pernah mengalami semua itu Ne."
Ane menolehkan kepalanya, memandang ke arah Kaia yang sudah terduduk manis di sampingnya sembari melempar senyum hangat.
"Waktu kakak memilih menikah muda sama kakak kamu banyak banget yang menentang kakak, orang tua kakak, saudara kakak."
"Tapi kakak memantapkan diri menerima semua konsekuensi keputusan kakak itu, dan sekarang? Seakan berjalannya waktu keluarga kakak udah bisa menerima Abi, Dan saat ini kamu harus memantapkan diri kamu menerima kosekuinsi keputusan mu, dan yakinlah seiring berjalannya waktu semua akan baik-baik saja.”
"Kamu percaya ada pelangi setelah hujan kan?" Sahut Kaia sembari mengusap lembut puncak kepala Ane.
Ane menganggukkan kepalanya.
"Mulai sekarang janji sama kakak. Jangan nangis kayak anak kecil lagi. Masalah harus di hadapi untuk selesai, bukannya malah ditangis." Sahut kaian kembali.
Ada perasaan lega di saat Ane mendapatkan pencerahan dari Kaia.
Kaia memeluk adik iparnya itu, ia sudah menganggap Ane seperti adik kandungnya. Ane merasakan seolah tubuhnya di peluk erat oleh kakaknya, Irianan. Ane menangis sesegukan di dalam pelukan Kaia.
Flashback Off
Ane mulai meneguk koktail itu berkali-kali seolah wiski yang sebelumnya ia teguk tak berpengaruh merubah mood nya malam ini, tanpa henti hingga ia mabuk berat, ia mulai meracau tak jelas, dan Seka sangat hafal tingkah temannya itu saat mabuk.
“Yaudah kita pulang.”
Seka menanting lengan Ane, membawa temannya ke dalam mobilnya untuk segera ia antar pulang, karena kebetulan Ane kesini bareng dengan Seka.
“Seka kenapa lo mau temenan sama gue?”
“Lo nggak tahu kalo gue itu orang jahat?”
“Gue orang jahat.” Tawa Ane sumbang, ia mulai meracau terus menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa membuka hati untuk Taraka.
Sedangkan Seka, ia masih saja fokus pada jalan, ia tadi minum sedikit jadi tidak terlalu mabuk, ia tidak dalam pengaruh alkohol.
“Gue orang tolol kenapa gue nolak Taraka? Lo tahu kan dia baik, tampan, selalu dukung karir gue, Tapi orang nggak tahu terima kasih kayak gue dengan lihainya melupakan semua kebaikannya begitu saja.”
“Hahahaha emang bangsat gue.”
“Gue bangsat!” Ane memukul kepalanya sendiri, menjambak rambutnya hingga beberapa helai rambut akhirnya rontok di sela-sela jarinya.