Puan terus mengamati tingkah Ane dari balik kaca mobilnya, pria itu mengamati dalam diam.
Entah mengapa setiap Ane berdekatan dengan pria lain, ia seolah naik pitam, ingin marah-marah tanpa sebab. Namun Puan terus mengamati mereka dengan diam, ia tak menarik atau memaki Ane seperti yang pernah ia lakukan, karena ia tahu gadis itu yang salah.
Karena ia tahu ulah Ane menendang kaleng sembarangan yang menjadi penyebab pelipis orang yang ia kenal itu berdarah.
Puan membelalakkan matanya seketika saat melihat tingkah pria yang ada didepan Ane sudah melewati batas. Mata Puan memanas tak kala pria itu memaksa Ane untuk menerima ponselnya, Puan bukan orang bodoh—ia tahu maksud Ranu adalah memaksa Ane untuk menulis nomor ponselnya.
Cukup, kesabaran Puan sepertinya sudah diambang batas cukup. Puan membuka pintunya begitu saja dan melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah mereka berdua.
Brakkkkkkkkkk
Aaaa
Ane membelalakkan matanya saat melihat Ranu tiba-tiba saja terjatuh menghantam pintu mobilnya. Ane mengulurkan tangannya berniat membantu Ranu yang masih tersungkur. Namun tangannya ditarik begitu saja hingga ia kembali berdiri.
Ane memutar kepala 90 derajat, ia mengedipkan matanya berkali-kali saat melihat Puan sudah ada di sampingnya, tatapan pria itu sangat datar seolah tak melakukan kesalahan apapun.
“Gilak lo ya,” maki Ane sambil melepaskan tangan Puan yang mencengkeram lengannya, Ane kembali berjongkok dan berniat membantu Ranu berdiri.
Ranu melirik tajam ke arah Puan, ia tahu semenjak di pesta rumah Mahanta beberapa hari lalu kalau Puan memang menyukai Ane, walaupun banyak teman Ranu yang mengira kalau mereka hanya datang bersama.
“Ke mobil sekarang.” Bentak Puan membuat Ane seketika ciut nyalinya, wanita itu menggenggam kedua tangannya, menahan semua emosi yang ada pada dirinya.
Ane berdiri dan segera melangkah menuju mobil Puan.
Ranu tertawa, tawanya terdengar sangat sinis di kuping Puan, ia mulai berdiri dan menatap tajam ke arah Puan yang masih ada di depannya.
“Lo takut dia naksir sama gue?” sinis Ranu saat melihat tingkah Puan yang seperti itu.
“Dia pacar gue. Jangan janggu dia.” Puan membalikkan badannya, berjalan santai ke arah mobilnya.
Sedangkan Ranu, pria itu masih membeku di tempat. Sakit pada pelipisnya belum sembuh namun luka tonjok pada rahangnya menambah sial hidupnya hari ini.
‘Setidaknya gue tahu kalau dia tinggal disini.’ Gumannya lalu kembali memasuki mobilnya.
Ane hanya memalingkan pandangannya sedari tadi, ia malas menatap ke arah pria yang ada di sampingnya itu. Puan masih saja fokus dengan jalan, seolah tak ada kesalahan yang ia lakukan.
“Lo harus jauhin Ranu, dia bukan orang baik.” Ucap Puan sambil menghentikan mobilnya, lampu lalu lintas sedang merah.
Ane memutar kepalanya, menatap sinis pria yang ada di sampingnya, “Lo kira lo orang baik?” sinis Ane lalu memutar kepalanya kembali ke arah kaca jendela.
“Banyak cewek tempat gue yang jadi korban dia,” ucapnya sambil melajukan kembali mobilnya karena lampu sudah berganti warna menjadi hijau.
Ane memilih bungkam, tak ada gunanya juga ia menanggapi ocehan Puan. Yang ada nanti dia semakin naik darah.
Puan memarkirkan mobilnya, dan segera memasuki toko perhiasan yang menjadi langganan keluarganya sedari dulu. Ane mengikuti Puan tepat di belakang pria itu, namun tiba-tiba tangannya di geret Puan begitu saja, menyeimbangkan langkahnya, hingga mereka berjalan bersama.
“lucu aja pasangan cari cincin pernikahan tapi jalannya sendiri-sendiri.” Ucap Puan tanpa beban sambil tangannya terus menggenggam tangan Ane, menautkan jarinya di sela jari Ane.
“Wah wah wah, udah besar banget sekarang, dulu segini lo, tahu tahu tingginya udah melebihi aku.” Ucap bapak-bapak pemilik tokoh itu sambil memeluk Puan, mereka terlihat sangat akrab.
“Kabar gimana koh?” tanya Puan yang nada bicaranya lebih hangat daripada tadi.
“Baik, tumben ke sini nggak sama kakak, mamah, oh—“
“Ini calon kamu? Cantik banget.” Ane ditarik dan badannya diputar-putar hingga rasanya ia ingin muntah di sana sekarang juga.
“Dia emang gitu, santai aja.” lirih Puan menepuk bahu Ane, Ane menggelengkan kepalanya berkali kali, berharap rasa pusing itu dapat segera hilang.
“Kalian pasti kesini cari cincin pernikahan ya?”
“Cari yang gimana?” sambungnya.
“kalau yang ada motif bunga sakura, motifnya timbul.” Ane mengernyitkan dahinya saat mendengar kata bunga sakura, seolah ia teringat mimpinya beberapa minggu lalu Puan melamarnya menggunakan cincin bermotif bunga sakura.
“Ada, bagus banget.”
“Jangan,” semua pegawai toko melihat ke arah Ane yang tiba-tiba saja berteriak.
“Mak__maksut aku jangan, sayang aku kan nggak suka bunga sakura.” Rajuk Ane yang membuat Puan mengernyitkan dahinya karena di panggil sayang. Namun Puan menetralkan mimik wajahnya.
“Lah kenapa? padahal cincin ini bagus lo, secantik mbaknya.” Ane hanya tersenyum sekilas, tangannya masih menarik-narik lengan kemeja Puan, berharap pria itu tidak mengambil cincin yang disarankan oleh pemilik toko itu.
“Kamu maunya yang mana?” tanya Puan sambil merangkul bahu Ane, membuat beberapa pasang mata iri melihat mereka berdua.
Sedangkan Ane, entah apa yang dilakukan wanita itu, ia sangat menyesali tingkahnya memanggil Puan dengan sebutan sayang.
“Yang itu, polos.” sahut Ane yang mendapat persetujuan dari Puan begitu saja.
“Baiklah, silahkan tulis dulu, 30 menit lagi saya selesai mengukir nama.” Sambung penjual itu. Puan mengambil bolpoin dan segera menuliskan namanya dan juga Ane.