"Kak Sita kenapa?" tanya Ane saat melihat wajah Sita yang sangat pucat baginya, Sita menggelengkan kepalanya dan duduk di samping Ane.
"Nggak papa, cantik banget kamu malam ini," Puji Sita saat melihat tampilan Ane dengan balutan dress warna abu-abu tua, rambut panjang Ane yang diurai malam ini menambah kesan tersendiri Ane di mata Sita. Kagum, itulah yang Sita fikirkan saat melihat Ane saat ini.
"Tiap lihat kamu imajinasi desain kakak meningkat, beneran."
"Cantikan kak Sita," puji balik Ane, pandangan Sita berubah sendu.
"Kamu yakin aku cantik?" Ane mengangguk antusias.
'Tapi kenapa aku masih belum bisa mendapatkan hati Aksa,' guman Sita dalam hati, ia memilih meneguk soju dan meminumnya. Mencoba melupakan permasalahan rumah tangganya.
Pandangan Sita tiba-tiba buram, menit berikutnya ia pingsan disamping Ane yang membuat Ane bingung seketika. Karena sekarang Pak Mada dan Bu Mada sedang sibuk menerima tamu yang tiba-tiba datang dari jauh--ini berurusan dengan perusahaan mereka. Sedangkan Aksa, Ane tak melihat batang hidung pria itu dari tadi. Dan Puan ia juga tak tahu pria itu ke mana.
"Ha-halo? Da Kaka Sita pingsan, ini gimana?"
",,,,,,,,,,,,,"
"Gue tunggu."
***
"Dis gue cabut dulu." Puan melepaskan tangan Paradista yang masih memeluk tubuhnya.
Gadis itu tiba-tiba saja memaksa Puan untuk menemuinya di taman kota yang tak jauh dari rumah keluarga besarnya Puan. Puan sudah menolak keras permintaan Paradista tersebut, namun gadis itu mengancam tidak akan meninggalkan taman itu sebelum ia berbicara dengan Puan. Alhasil, disilah Puan sekarang, bersama Dista di bawah teraman lampu taman, duduk berdua dikursi taman-meninggalkan Ane yang bingung sendiri dengan Sita yang tiba-tiba pingsan.
Paradista menggelengkan kepala kuat, ia bahkan memeluk lebih erat membuat Puan kuwalahan dengan tindakannya yang agresif itu.
"Dis gue buka Puan yang dulu, jadi berhenti bersikap gini." Tegas Puan yang membuat Paradista mengendurkan pelukannya, baru pertama kalinya seorang Puan membentaknya dan juga menolaknya.
"Kenapa? Ane? Gue udah tahu kalo lo ada apa-apa sama gadis itu." Sinisnya dengan tatapan jengkel.
"Lo tahu nggak Dis gimana sakit hatinya gue waktu tiba-tiba lo ninggalin gue begitu aja." Suara Puan mulai melunak, suaranya bergetar setiap mengingat kejadian beberapa tahun silam-saat dimana Dista meninggalkannya tanpa sebab, memutuskannya secara sepihak. Saat itu juga Puan tidak mendengar kabar lagi tentang Dista, tiba-tiba 2 tahun kemudian Dista kembali dengan senyumannya.
"Itu dulu Da," Paradista meraih tangan kanan Puan, namun Puan menepisnya begitu saja.
"Tapi sekarang gue udah suka sama orang lain. Jadi maaf." Puan melangkahkah kakinya dengan cepat menuju mobilnya dan segera memutar mobil itu untuk melaju ke rumahnya.
Paradista pasrah dengan semua apa yang saat ini terjadi padanya, matanya mulai memanas, menit berikutnya ia terjatuh begitu saja di kursi taman itu, Ia menangis sesegukan melihat Puan mulai melupakannya. Tingkah Puan barusan dapat menjadi bukti kalau pria itu benar-benar sudah melupakannya.
***
"Nyerah gue." Ane mendudukkan Sita kembali di kursi itu, ia tak punya kekuatan untuk membopong tubuh wanita itu. Badan Sita sangat ramping tapi entah mengapa sangat berat bagi Ane.
Senyum ane mengembang karena dari jauh Ane melihat Puan berlari ke arahnya. kemeja yang sudah dikeluarkan dan rambut yang acak acakan. 'Darimana tadi dia?' guman Ane.
"Tadi kepana?" tanya Puan sambil membopong tubuh kakaknya.
"Kak Sita minum ini terus pinsan gitu aja." Sahut Ane sambil menenteng boto soju yang sebelumnya Sita minum.
"Sial! Kenapa dia bisa minum gituan!" Puan segera menggendong dan memindahkan kakaknya di kamar yang ada di lantai 1.
Ane menunggu di depan pintu kamar itu, Puan dan kedua orang tuanya juga dokter masih di dalam kamar itu.
Ane mendudukkan dirinya di lantai begitu saja, entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing, Menit berikutnya ada yang menepuk bahunya. Ane mendongakkan kepalanya menatap Puan, tampilannya sangat kacau, entah apa yang terjadi hingga membuat pria itu terlihat sangat kacau.
Puan mengangkat bahu Ane, menyuruh gadis itu berdiri, "Ayo, gue anter pulang," sahutnya sambil menggenggam tangan Ane. Ane yakin ada yang tidak beres dengan pria itu, seolah tatapannya sangat terluka.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, Puan yang fokus dengan jalan dan Ane yang fokus mengamati keramaian jalanan yang mereka lewati. Sesekali Ane melirik ke arah Puan namun tak ada kata yang ia ucapkan. Ingin sekali ia bertanya namun melihat sikap Puan yang kembali dingin seperti itu membuat Ane mengurungkan niatnya.
Menit berikutnya, ponsel Puan berdering, sang pemilik hanya melirik sekilas tanpa mengambil, apalagi menggeser panel hijau.
Ane memutar kepalanya ke arah Puan, gadis itu heran bukan main saat Puan seolah tuli dengan bunyi ponselnya.
"Da, ponsel lo bunyi tuh." Sahut Ane, gadis itu kira Puan tak menyadari kalau sedari tadi dering ponsel itu berasal dari ponselnya.
Lagi-lagi Puan hanya melirik sekilas layar ponsel itu, namun saat 8 kali panggilan itu masuk tanpa henti, dengan malas Puan menggeser panel hijau.
"Hem?"
",,,,,,"