“Gimana kalo kita nonton berempat.”
Ane mendongakkan kepalanya, matanya membulat sempurna ,mendengar ocehan Paradista. Begitu juga Puan, pria itu sampai mengerutkan dahinya, ingin memastikan benar tidaknya apa yang Dista ucapkan.
Nonton berempat?
Jangan tanya lagi suasana hati Ane bagaimana saat ini. Jika mereka nonton berempat dapat Ane pastikan Puan dengan Dista, dan dirinya dengan Mahanta. Kuatkan jika Ane melihat Dista dan Puan jalan berdua didepan matanya langsung? Kurasa tidak, kejadian di kedai soto kemarin malam masih melekat dalam fikirannya. Ane masih ingat sekali seberapa rapuhnya dia saat itu.
Ane menghela nafas berat seolah permasalah sepele ini sangat menyibukkan pikirannya.
Dan disisi lain, Puan setuju, dengan begitu ia bisa mengawasi tingkah Ane dan Mahanta. Setidaknya mereka berdua tidak jalan hanya berdua.
Ane menundukkan kepalanya, memilih untuk bungkam. Otaknya rasanya sudah letih untuk mengerjakan soal persiapan seleksi, dan saat ini otaknya harus dibuat berfikir karena ucapan Paradista yang lagi-lagi sangat menjengkelkannya.
Ayolah, mereka berdua 2 hari lagi akan segera bertunangan namun keadaan keduanya masih seperti ini. Puan dan Ane bahkan tak melempar sapa walaupun satu meja.
“kapan-kapan aja ya, jangan sekarang. Sorry bukannya gue nggak mau kalian berdua ikut. Nggak masalahkan?" Ucapan memuaskan Mahanta membuat Ane tak dapat menahan senyumannya. Akhirnya, ia keluar dari masalah. Memang bukan cara yang bagus menonton bioskop berempat.
Puan dapat menangkap raut wajah sumpringan Ane dari ekor matanya. Dan melirik tajam ke arah Mahanta yang terlihat masa bodoh dengan perasaan Puan.
Dista mengulas senyumnya.” Baiklah, waktu kalian berdua ya? Nggak mau diganggu? Hahaha nggak papa. Gue ngerti kok.” Dista berdiri dari duduknya.
“Kalau begitu kita pulang duluan ya. Sehat-sehat kalian berdua.” Ucapnya sembari menekankan kata terakhirnya—BERDUA.
***
“Maksud lo apa dengan ngajak gue ke meja mereka?” sulut Puan dengan emosi yang membara, setelah sampai di tempat parkiran ia meluapkan semua emosi yang sempat ia pendam pada Dista.
Sedangkan Dista, gadis itu mengatur detak jantungnya. Suara Puan membentaknya membuat nyalinya ciut seketika. Ia sudah lama tak melihat kilatan kemarahan pria itu.
Namun buka Paradista Sifabella jika tak pandai mengendalikan raut wajahnya. Gadis itu kini memasang raut wajah yang tak merasa bersalah dengan tindakannya barusan.
“Kamu bilang kalian akan bertunangan. Tapi sikap Ane ke lo nggak mencerminkan kalian saling cinta. Atau kalian menikah tanpa cinta. Iya? Perjodohan?”
“Nggak usah sok tahu.” Sinis Puan yang mengundang tawa renyah Dista keluar.
“Puan Mada Muda.” Dista menghela nafas panjang setelah mengucapkan nama lengkah pria itu, gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
“Lo suka beneran sama Ane?” tanya Dista kembali.
2 menit, 3 menit Puan tak kunjung buka suara. Ia memilih bungkam.
"Puan gue tanya Lo suka sama Ane?" Ulang Dista dengan nada bicara naik satu oktaf.
“Iya. Gue suka. Gue cinta. Gue sayang sama dia. Jadi berhenti ganggu gue Paradista Sifabella.” Sinis Puan. “Sekarang juga lo pergi dari hadapan gue!” Puan mengusirnya. Dista seolah tak percaya jika pria di depannya itu pria yang selama ini ia kenal.
Yang Dista kenal Puan tak akan suka membentaknya, bahkan mengusirnya. Tapi sekarang, Puan melakukan hal itu. ‘Ane!’ Dista menggenggam erat kedua tangannya, ia lelah sendiri dengan perjuangannya hari ini. Akhirnya ia melangkahkan kaki menuju mobilnya sendiri.
Puan memencet smart key, ia membuka pintu mobil itu dan segera masuk ke dalam sana. Puan memilih menunggu di dalam mobilnya yang kebetulan disampingnya terparkir kan mobil Ane. Puan terus menatap sedan Audi putih yang ada di sampingnya, ia ingin sekali menjelaskan semua kesalah pahaman yang terjadi kemarin malam dan tadi pagi.
Ane dan Mahanta tak hentinya mengumbar tawa mereka, seakan mebuat iri sebagian orang yang melihatnya. Mungkin sebagian mereka akan mengira kalau Ane dan Mahanta sepasangan kekasih, bahkan Mahanta dengan santainya memeluk bahu Ane, yang membuat puan mencengkeram kuat setir mobilnya. mata pria itu memanas, ingin sekali ia memaki Mahanta saat ini juga. Namun ia menahan emosinya, ia tak mau membuat Ane semakin jengkel terhadapnya.
Senyum Ane memudar saat di sebelahnya terparkir mobil yang sangat ia kenal. Range rover warna hitam doff. Ya itu mobil Puan.
“Ta, gue boleh bareng sama lo nggak? Gue,, lupa naruh kunci mobil, kayaknya harus pulang dulu deh ke apartemen ambil kunci cadangan.” Dusta Ane.
Gadis itu memilih berbohong saat ia menyadari kalau yang terparkir di samping mobilnya itu mobil Puan, entah mengapa untuk saat ini ia sangat malas bertemu bahkan bertatap muka dengan Puan. Ia tahu pria itu sengaja menunggunya saat ini.
“Yaudah, tapi gue mau ke tempat temen gue sebentar. Nggak papa?”
“Santai aja, gue ngikut aja.” Sambung Ane sambil terus mengekor pada Mahanta.
Seolah kehabisan kesabarannya, Puan membuka pintu mobilnya dan keluar dari mobil, ingin ia menghampiri Ane dan menggeret tangan perempuan itu seperti biasanya yang ia lakukan.
‘Udah cukup lo permainin gue hari ini Ane,’ sinisnya, namun langkahnya terhenti saat bahunya ditepuk begitu saja oleh orang.